Chapter 22

7.3K 346 1
                                    

***

***

“Rel... tunggu.” Alva berlari ke arah Aurel yang kini menghentikan langkah kaki nya, Aurel hendak ke perpustakaan siang itu, Aurel menoleh sedikit dan kembali berjalan, ia mengindari Alva, tapi dengan cepat Alva mengejarnya dan menahan tangan Aurel, membuat cewek itu menatapnya serius.

“Gue, mau ngomong sama lo” ucap Alva serius menarik tangan Aurel ke samping perpus yang sepi, karena perpus terletak paling ujung  dari bangunan kantor.

“Apa sih?”

“Al, lepasin!” ucap Aurel jutek melepaskan tangannya dari Alva dengan kasar, ia menatap Alva sinis. Mengusap pergelangan tangannya yang terasa perih akibat kuatnya tarikan Alva padanya.

“Maksud lo apaan, bilangin Gaby yang nyuruh lo, ke pak Charles?” tanya Alva bingung.

“Ahh... jadi lo nggak ngerti juga, gue ngelakuin itu demi lo! biar lo kembali lagi ke tim basket dan...” ucapan Aurel terpotong, ia menatap Alva dengan raut muka tak biasa. Alva diam, ia tak mengerti apa yang ada dipikiran gadis di depannya itu.

“Kenapa, sih Al? Lo, masih nggak ngerti kalau gue itu sayang sama lo.” ucapnya serius dengan mata berkaca, Alis Alva terangkat, ia mengingit bibirnya kuat, diam, bingung detik berikutnya ia mengaruk kepalanya yang sama tidak gatal. Gadis ini tidak menyerah juga dan ia tidak tahu lagi bagaimana cara menolaknya.

“Gue minta maaf rel, gue nggak bakalan balik lagi ke tim basket dan....”  Alva kembali mengigit bibirnya, ia tak tahu lagi cara menolak gadis di depannya ini. Untuk kesekian kalinya.

“Dan... gue nggak suka sama lo, lo, terlalu baik buat gue, dan gue yakin ada cowok yang jauh lebih baik dari gue, jadi gue benar-benar minta maaf Rel.” jelas Alva menunduk, dan mundur satu langkah dari hadapan Aurel yang mulai meneteskan air matanya, dan untuk kesikian kalinya juga ia ditolak Alva.

“Nggak usah lakuin apa-apa lagi demi gue, karena sampai kapanpun gue masih menganggap lo sama dengan yang lainnya. Lo teman gue, dan itu nggak akan berubah, Rel.” tambah Alva lirih, ia menatap Aurel sekilas dan hendak beranjak pergi. ia benar-benar tidak ingin melihat Aurel menangis didepannya lagi untuk kedua kalinya.

“Kenapa?"

“Karena, cewek yang udah meninggal itu...?” teriak Aurel membuat langkah Alva terhenti, ia spontan menoleh, melotot ke arah Aurel tak percaya.

Bagaimana bisa Aurel tahu soal ini.

“Kenapa? Gue benar, kan?” Aurel maju beberapa langkah, menepis air matanya kasar, ia tersenyum sinis melihat Alva berdiri mematung dengan mata melebar, ekspresi tak biasa dari cowok itu.

“Karena cewek itu, lo sampai sekarang nggak bisa buka hati lo buat siapapun?” tambahnya dengan suara lantang ke arah Alva yang masih diam tak percaya dengan ucapan Aurel, dari mana cewek itu tahu akan hal ini.

“Nggak usah bohong, gue tahu semuanya!” kata Aurel lagi.
“Lo lupa, cewek itu! dia udah nggak ada,”

“Terus...? Mau sampai kapan lo nungguin dia?”

“Ahh... Nggak lucu!” ucap Aurel menggeleng, kembali tersenyum sinis, dan beranjak pergi dari hadapan Alva yang masih diam membeku tak berkutik dari tempat berdirinya. Seperti ada seribu pedang menusuknya, untuk pertama kalinya ada lagi orang yang menginggatkan pada cewek itu dan berkata pula kalau cewek itu sudah tidak ada.

Cukup sakit memang, tapi kenyataannya memang. Aurel memang benar.

“Cewek itu, dia sudah nggak ada?” ucapan Aurel mengema di telinga Alva, dadanya terasa sesak, kakinya terasa berat untuk melangkah. Ini pertama kalinya ada cewek yang bilang kalau cewek itu sudah nggak ada lagi di hadapannya. Sejak 2 tahun yang lalu.

“Al...” Gaby menepuk pundak Alva spontan membuat ia kaget.

“Lo, ngapain disini?” ucap Gaby membuyarkan ingatan Alva dan ia menatap Gaby bingung.

“Lo, kok bengong? lo ngapain disini? udah masuk tahu, udah budek lo?” kata Gaby beranjak pergi. Alva mengusap mukanya kasar, ia baru sadar kalau bel sudah berbunyi, kalau bukan karena Gaby, mungkin dia masih diam membeku berdiri di sana sampai jam pelajaran berakhir.

***

Starlight (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang