Chapter 30

7.1K 316 0
                                    

****
Dan akhirnya
***

Gaby menatap lurus ke depannya, kelas Sepi, semua siswa-siswi sudah berkumpul di Aula tempat acara di adakan, 10 menit lagi acara akan dimulai dan kelas Gaby pertama kali tampil. Dan Gaby masih duduk sendiri di bangku nya, Gaby merebahkan kepalanya di mejanya.

Hari ini hari yang paling di bencinya setelah hari ulang tahunnya. Kenapa bisa ia masuk ke sekolah yang setiap tahun mengadakan peringatan hari ibu, seperti ini. Ia ingin sekali berteriak kalau ia sangat membenci hari ini, hari yang membuat ia membenci ibunya. Dia juga berpikir untuk tidak masuk hari ini, tapi Bu Selvi akan mengancam siswa yang tidak ikutan, nilainya akan di turunkan, dan Gaby tidak mau hal itu terjadi dan dengan sangat terpaksa ia harus ikut, padahal hatinya benar-benar kacau, bagaimana bisa ia melihat semua siswa datang bersama ibunya dan dia datang sendirian, meski mama Caca mewakili nya, tapi tetap saja itu berbeda.

Gaby meraih kalung yang ia genggam sejak tadi, ia menatap kalung itu dengan tatapan penuh kebencian, detik berikutnya ia memasang kalung itu dan kembali merebahkan kepalanya diatas meja.

“Gab, kok disini? Acara udah dimulai, ayo!” Cilla datang membuyarkan lamunan Gaby, Gaby kembali mengangkat kepalanya, dan bangkit dari tempat duduknya dengan raut muka jengkel, mengikuti Cilla keluar dari kelas menuju Aula.

***

Semua siswa dan para undangan sudah berkumpul di dalam ruangan yang cukup besar itu. Alva memutar kepalanya, dia belum melihat Bundanya sejak tadi, padahal Bundanya sudah berjanji akan datang untuk melihat pertunjukkan nya, walaupun Alva tak yakin kalau bundanya bisa datang, tapi tetap saja ia berharap. Alva menarik napasnya pelan dan ikut bergabung bersama temannya di belakang panggung yang sudah bersiap untuk tampil.

Ia berjanji akan mogok tidak bicara, jika bundanya tidak datang hari ini, walaupun bukan hari spesial tapi tetap saja ia ingin melihat bundanya ada bersama ibu-ibu yang lain melihat anaknya tampil di acara itu. Walau sesibuk apapun bundanya tetap saja ia harus menyempatkan satu hari saja untuk anaknya.

Alva dan teman kelasnya sudah berada di atas panggung dan sudah bersiap untuk menyanyikan lagu itu.
Alva berjalan ke arah pianonya, sekali-kali melihat ke arah bangku penonton dan pandangannya tertuju pada Bundanya yang masuk dengan langkah cepat, spontan kedua sudat bibir Alva melengkung, membentuk sebuah senyuman, tentu saja ia tidak jadi untuk mogok bicara hari ini. Dengan semangat Alva duduk di depan piano dan melirik ke arah teman-temannya untuk segera memulai nya.

Mata Gaby menatap lurus ke arah penonton, mama Caca sesekali mengangkat tangannya menunjukkan akan keberadaannya untuk memberi Gaby dukungan dan semangat tentu saja. Gaby hanya mengangguk tanpa ekspresi.
Ingin sekali Gaby hari ini cepat berlalu, dia sudah ingin kabur dari ruangan yang membuat ia susah bernapas sejak masuk dari tadi. Dan acara dimulai.

Akhirnya Gaby terbebas dari ruangan yang membuat ia sulit bernapas itu, ia berjalan gontai menuju perpustakaan, ia rasa cuma perpustakaan sekolah tempat paling aman saat ini, tapi langkah Gaby terhenti, pintu Perpustakaan tertutup rapat. Gaby memukul kepalanya kesal. Ia baru ingat tidak mungkin perpustakaan buka di acara besar seperti ini. Gaby duduk menyandarkan kepalanya di bangku kosong di depan perpustakaan. Matanya kembali menatap kosong di depannya. Memang menyebalkan.

Kalau ia tak takut naik taxi sendirian pasti dia udah kabur lewat gerbang belakang dan tidur dirumah sekarang. Tapi ia tidak punya kekuatan untuk itu, ia ingin sekali lari sejauh mungkin saat ini.

“Lo, disini?” Gaby menoleh kaget, lamunannya terhenti melihat Alva berdiri tepat di depannya dengan tatapan bingung, kenapa cowok itu juga bisa berada disani.

“Iya... nggak lihat apa?” jawabnya jutek, kembali menatap lurus tembok di depannya. Alva tersenyum sedikit. Tidak heran lagi kalau gadis ini selalu jutek.

“Ya ellah, jutek amat.” Alva mengambil duduk di sebelah Gaby ikut menyandarkan kepalanya di sandaran bangku kayu itu. Ikut menatap lurus ke depannya.

“Kok, lo nggak masuk?” tanya Gaby serius, ia heran kenapa Alva ikutan dirinya disini. Alva menarik napasnya dan menghembuskan perlahan, lalu ia merentangkan tangannya ke atas.

“Bunda gue udah pergi lagi, jadi percuma aja gue disana.'” jawab Alva sedikit tersenyum.. Gaby menoleh serius, sedikit bingung.

“Oh...” jawab Gaby singkat. Alva ikut menoleh ke wajah tak bersemangat Gaby, ia teringat ucapan Caca waktu itu, kalau Gaby sangat kehilangan ibunya, dan Alva mengerti kenapa cewek ini disini sekarang. “Dia pasti sedih.”

Alva berdiri, ia menatap Gaby di depannya serius.

“Lo, ikut?” tanya Alva sontak saja Gaby menoleh bingung. Gaby tak menjawab, ia menatap Alva dengan alis terangkat. Penuh tanda tanya.

“Lo, mau ikut gue nggak?” ulang Alva lagi.

“Kemana?” Gaby bertanya balik, ia masih bingung menatap cowok paling di bencinya itu tiba-tiba mengajaknya pergi dan tidak jelas juga mau kemana.

“Kemana aja, yang penting nggak disini.” jawab Alva. Ia kembali menatap Gaby, menanti jawaban gadis itu.

“Mau, nggak? Kalau iya, ayo!” ulang Alva lagi. Gaby masih bingung, ia tak tahu akan kemana, tapi dia juga tidak ingin disini. Ia benar-benar dilema.

“Lo, mau ikut atau nggak, gue pergi ni!” tambah Alva sekali lagi, ia melangkah mundur dan berjalan meninggalkan Gaby yang masih berpirkir untuk ikut atau tidak. Alva berjalan lurus ke arah belakang sekolah, ia memalingkan kepalanya lagi menatap Gaby sekilas yang masih duduk diam. Lalu kembali berjalan.

“Ya udah, nggak mau.” Gumam Alva hendak melangkah cepat tapi langkahnya terhenti ketika Gaby memanggilnya.

“Al, tunggu...” ucap Gaby berlari kecil ke arah Alva, Alva refleks tersenyum. Ia tidak tahu kenapa ia bisa tersenyum hanya karena Gaby menurut ajakannya.

“Kemana?” tanya Gaby bingung berjalan di samping Alva menuju gerbang belakang sekolah.

“Cabut...” jawab Alva santai sedikit tersenyum melirik kiri kanannya berharap tidak ada siapa-siapa disana, Gaby menaikan alisnya bingung. Ia menghentikan langkahnya.

Cabut, hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

“Cabut?” ulang Gaby serius.

“Iya, emang lo pikir mau kemana?” tambah Alva tersenyum. Gaby memajukan mulutnya manyun, berpikir sejenak, sepertinya Alva tidak main-main dengan ucapan itu.

***

Starlight (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang