***
Mata Gaby tertuju pada alat musik Alva disudut kamarnya, tersusun rapi, drum band, gitar, piano, lengkap dengan speaker besar disana.
"Omegat! lo, suka semua jenis alat musik, Al?" tanya Gaby kagum, Alva mengangguk tersenyum.
"Suka banget, tapi gue lebih suka piano sih" jawabnya mantap.
"Ooh..." sahut Gaby mengangguk, matanya kembali berputar mencari sesuatu yang ada disana.
"Cuma, Ooh....doang, nggak iri lagi'' ucap Alva tersenyum. Alva berjalan ke arah Pianonya dan duduk disana. Gaby menoleh sedikit tersenyum. Lalu mengangguk.
"Iri Banget...gue nggak bisa satu alat musik pun!" jawabnya datar.
"Berarti gue keren dong..." kata Alva spontan membuat Gaby tertawa. Lalu menggeleng cepat.
"Yeah...bilang aja gue keren.. Nggak mau ngaku juga lo." ucap Alva tertawa.
"Nggak..." jawabnya datar, kembali menggeleng, lalu tersenyum, Gaby memang iri dan ia juga ingin mengatakan kalau Alva keren, hanya saja yang Alva bilang itu benar, Gaby tidak mau mengakui nya.
"Lo, orang pertama masuk kamar gue,,,,selain kak Chika, bunda, bik Inah, dan Ayah dan...." Alva menghentikan ucapannya, sedikit tersenyum. Menatap Gaby yang masih berkeliaran di dalam kamarnya.
"Semoga yang terakhir juga.. " tambah nya, refleks membuat Gaby menoleh, Alis Gaby terangkat tak mengerti, wajahnya berubah serius.
Alva tersenyum, melihat perubahan wajah Gaby."Serius banget, kamu?" ucapnya kembali membuat Gaby tambah bingung, mendengar ucapan Alva.
"Bunda Aku, dibelakang kamu." ucap Alva berbohong, ia seolah melirik ke arah pintu Kamarnya, ia makin suka melihat tampang bingung Gaby. Gaby menoleh, tidak menemukan siapa-siapa disana.
"Gilaaa... Lo ngerjain gue" kesal Gaby spontan mendekat memukul Alva geram.
Alva terkekeh, ia menjauh.
"Gampang banget dibohongin, haha...muka lo, Memerah tu" ucap Alva tertawa melihat muka Gaby yang memang berubah warna merah.
''Lo, ngeselin banget sih" kesal Gaby mundur, Alva masih terkekeh.
Napasnya tak beraturan, ia masih menertawai Gaby.
Gaby memasang muka tidak peduli, kembali memutar matanya kesegala arah. Rak buku Alva di sudut sebelah kiri menjadi tempat Gaby melangkah cepat.
"Ooh, perpustakaan mini, lo punya juga, lo emang nggak bisa ditebak, gue makin benci sama lo ni..." ucap Gaby memandang buku-buku itu dengan tatapan iri, ia benar-benar tak menyangka seorang Alva punya segala nya di kamar nya.
Gaby tidak menyadari kalau
Al
Kini mata Gaby tertuju pada meja belajar Alva, berwarna vintage. disana ada tiga foto, berbingkai sama, dengan ukuran sama. Alva terdiam, dia lupa menyingkirkan salah satu foto itu dari sana.Gaby mengambil foto Alva dikelilingi dua cewek yang mirip, memakai seragam yang sama.
"Ooh,,, ini Chisa dan pasti ini Gheisa kan, Al" tunjuk Gaby tepat sasaran, ia bisa membedakan dua orang paling mirip didunia itu.
Alva mengangguk datar.
"Hebat, lo bisa bedain anak orang dalam satu pandangan" Alva bertepuk tangan, sedikit tersenyum.
'Karena gue punya insting yang kuat" jawab Gaby bangga, matanya kini tertuju pada foto kedua, dan bisa ditebak itu foto keluarga besar Alva. Lengkap. Termasuk bik Inah.
"Wah, ini kak Chika yah..?" tunjuk Gaby pada foto itu. Alva mengangguk tersenyum.
"Dia mirip ayah lo, lo mirip ibu lo, imbas" ucap Gaby tersenyum.
Gaby meletakan kembali foto itu ditempat semula."Kalau anak kita berdua, mirip siapa yah, kira-kira...?" ucap Alva tertawa, kini Alva kembali dapat pukulan super kuat dari Gaby.
"Lo, mau ngerayu gue?" ucap Gaby kesal.
Alva mengangguk tersenyum.
"Biar kita sama-sama bisa move on" sahut Alva datar, Alis Gaby terangkat, ia tak mengerti ucapan Alva.
''Maksud, lo" jawabnya cepat.
"Kenapa? Gue tahu semuanya Gab, lo juga gagal move on dari mantan lo sama kayak gue, nggak usah muna yah.." ucap Alva tertawa. Gaby sudah bisa tebak, siapa lagi kalau bukan si Caca manusia paling ember didunia yang beritahu Alva soal ini.
"Itu. Dulu, sekarang gue udah move on" sahut Gaby Kesal.
"Ih, masa, baru 2 tahunan, gue rasa masih ada sisa nya dikit, nggak usah muna, iya in aja, susah banget" ucap Alva kembali tertawa. Gaby sudah tidak tahan lagi, Gaby menggaruk kepalanya Yang tidak gatal, ia mengepal tangganya kuat, kalau saja Caca disini, pasti sekarang sudah Gaby cakar muka tu anak. Saking kesalnya. Dan juga semakin lama ia disini, semakin gila Gaby dibuatnya.
"Terserah, lo" Gaby menyerah, iya benar-benar tidak ingin berdebat lagi dengan cowok nyebelin ini.
"Duduk, sini, nggak cape berdiri, mulu." ucap Alva spontan manarik tangan Gaby, duduk di sisi tempat tidurnya.
"Coklat..."tuntut Gaby tersenyum, mengingat janji Alva padanya. Alva menggaruk kepalanya yang tidak gatal, cewek aneh yang kecanduan coklat. Alva berdiri, berjalan ke arah lemari belajarnya, dan mengeluarkan satu coklat dari sana.
"Ini..." Sedikit kesal Alva menyodorkan nya pada yang langsung tersenyum renyah melihat coklat itu. Dari raut wajahnya, sudah bisa ditebak cewek ini memang penggila coklat nomor satu didunia, membuat Alva menggelengkan kepalanya tak mengerti.
"Heran, kok, lo suka banget sih, sama coklat..? Tanya Alva penasaran. Gaby menoleh tersenyum.
Dia sendiri juga tidak tahu alasannya kenapa bisa cinta mati sama yang namanya coklat ini."Gue sendiri nggak tahu, yang penting gue suka..!" ucap Gaby tersenyum. Alis Alva terangkat, lalu ia tertawa, menyadari ke anehan Gaby.
"Jadi, suka-suka aja...bisa gitu?" tambah Alva.
Gaby mengangguk mantap, dia memang tak punya alasan khusus untuk menyukai jenis makanan satu ini.
"Yah...seperti itu, awalnya sih, papa sering beliin pas pulang kerja, jadi keterusan sampai sekarang" jelas Gaby kembali tersenyum.
"Kalau, lo? Nggak suka?" tambah Gaby pada Alva.
"Suka-suka aja, tapi nggak se fanatik lo, gimana, misi lo bisa berhasil" tanya Alva, Gaby menoleh, ia paham apa maksud Alva.
"Ooh, gini, gue ngomong sesuai yang lo saranin, awalnya oma dan mama bingung, setelah gue jelaskan secara detailnya, mereka paham dan meluk gue, terharu" ucap Gaby dengan mata berkaca-kaca. Alva mengangguk tersenyum, dia seolah paham perasaan Gaby yang sebenarnya.
"Thanks yeah... gue benar-benar makasih banget sama lo" tambahnya.
Alva mengangguk tersenyum.
"Jadi...rencana berikutnya, mau bikin surprise? " tanya Alva. Gaby mengangguk mantap.
"Rencananya gitu, dan gue mau ngilangin trauma itu juga..." jawabnya penuh tekad, Alva terdiam, ia melihat kesungguhan Gaby berbicara. Ia baru tahu cewek itu punya banyak trauma yang harus ia hilangin.
"Dan...besok sepulang sekolah, lu bisa, nemanin gue, nggak?" ucap Gaby, Alva memutar otaknya, besok sore rasanya dia tidak punya Tujuan lain kecuali pulang.
"Kemana? Traktir gue," Tanya Alva tersenyum.
Mulut Gaby manyun, dan terpaksa mengangguk, ia tahu harus membayar Alva setiap kali ia membantu nya.
"Okey, gue traktir kok, habis itu temanin gue cari cari kado, buat tu cewek ember" jelas Gaby kesal.
Alva mengangguk paham.
"Cabut, yuk,..'' Gaby berdiri dari tempat duduknya, meneteng coklat pemberian Alva.
Holla, gue bakal update beberapa chapter hari ini.. Tungguin yah
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight (Completed)
Teen Fiction"Tahap Revisi" ☺ Ada baiknya follow dulu baru baca. "Gaby, gadis yang menganggap nilai adalah segalanya bagi nya, dan berharap masuk ke kelas terbaik ketika SMA, tapi semua berubah setelah dia masuk ke kelas itu dan ia jadi membenci cowok yang jadi...