Selamat Membaca
***
kenyataan
***
Alva menyandarkan tubuhnya di tembok sekolah pagi itu, matanya menatap lurus Siswa Siswi yang masuk ke gerbang sekolah, berharap orang yang ditunggunya segera datang dan ia akan minta maaf karena sudah percaya kalau Gaby bukan orangnya.
"Al, ngapain, kok nggak masuk?" tanya Pak Satpam melihat Alva bingung, tak biasanya Alva di sana. Cowok itu menoleh serius, melihat Pak Anas sedang berdiri di depan gerbang sekolah tak jauh dari tempat Alva berdiri, Pak Anas sedang mengatur siswa-siswa yang masuk. Sesekali memprotes Siswa siswi yang tidak berpakain rapi.
"Oh, ini? lagi nunggu teman pak." jawabnya tersenyum, kembali melirik ke arah teman-temannya yang masuk itu, dan ia belum juga ada.
"Oh, kirain mau cabut." kata Pak Anas tersenyum.
"Rencana iya Pak, cuma kalau diizinkan." Sahut Alva tertawa, Pak Satpam ikut tertawa menggeleng, lalu kembali fokus mengatur siswa yang masuk melewati gerbang, melihat apakah mengenakan atribut lengkap atau tidak. Mobil yang di tunggu Alva akhirnya datang juga, sedikit tersenyum, Alva melangkah maju beberapa langkah. Melihat Caca turun dari mobilnya dan pamit pada Pak Rahmad, ia menyandang tasnya, matanya membulat melihat Alva berdiri tepat di depannya tak biasanya, menatapnya dengan alis terangkat. Alva celingak celinguk ke dalam mobil Caca. Dan yang ditunggu tak kunjung turun.
"Ca? Mana Gaby?" tanya Alva bingung masih melihat ke mobil yang sudah tertutup itu dan mulai kembali pergi.
"Gaby? Oh dia sakit." Jawab Caca datar, masih menatap Alva bingung sambil berjalan menuju gerbang.
"Ha? Dia sakit?" sahut Alva serius, ikut mengikuti Caca masuk, Caca mengangguk serius.
"Sejak sabtu kemaren, dia drop dan Oma membawanya kerumah sakit dan hari ini dia pulang, Pak Rahmad mau jemput dia." Jelas Caca.
"Sakit apa?" tanya Alva lagi. Ia bingung.
"Dia nggak mau makan, dan Oma khawatir banget sama dia, dia itu kelihatannya aja kuat, tapi dia benar-benar rapuh." Tambah Caca lirih. Alva hanya diam mendengarkan. Ia hendak mengeluarkan kalung Gaby dari saku celananya tapi tak jadi.
"Kalungnya hilang, dia lupa tarok di mana, sekarang Oma lagi cari ganti kalung itu." Ucap Caca membuat Alva memasukan kembali kalung itu ke dalam sakunya. Menatap Caca serius, tak berkedip. Kalung itu penyebab Gaby sakit, kalung yang ia abaikan beberapa hari ini. Rasa menyesal membuat ia terdiam.
"Lo tahu, kalung itu satu-satu yang bisa bikin dia semangat dan malah itu juga yang hilang, gue sedih banget liat dia gitu, kalung itu satu-satu benda berharga yang dia punya." Jelasnya Caca lirih.
Alva membuka mulutnya hendak bicara, untuk mengatakan kalau kalung itu ada padanya, dia merasa sangat bersalah, ternyata dia yang membuat Gaby sakit.
"Sejak Mamanya meninggal, Gaby jadi banyak berubah, dia jadi pendiam kayak sekarang, padahal dulunya dia nggak gitu, dia ramah dan selalu tersenyum. sejak dia dibawa Oma tinggal disini, dia jadi aneh dan hanya diam, lo tahu, dia syok banget pas tahu Mamanya meninggal saat itu, dia ulangtahun yang ke 10, kalung itu hadiah terakhir Mamanya, jadi dia nggak bisa kehilangan itu." Lanjut Caca panjang lebar. Alva mengaruk kepalanya, ia makin merasa bersalah setelah mendengar penjelasan Caca lebih jauh soal cewek itu. Bagaimana bisa Alva mengabaikan benda kesayangan Gaby hanya karena masalah bodohnya.
"Sekarang Oma lagi nyariin kalung yang sama buat dia, tapi belum tahu ada atau nggak lagi?" tambahnya serius dengan nada penuh harap. Lalu menatap Alva bingung. Dalam rangka apa dia bertanya Gaby sepagi ini.
"Oh yah, lo mau ngapain ke dia? Masalah tim basket kemaren, gue udah tanyain ke dia tapi dia nggak mau dengarin gue dan konsentrasinya benar-benar terfokus sama kalung itu, jadi sorry nggak bisa bantu." ucap Caca menepuk bahu Alva yang makin bingung karena tak diberi kesempatan untuk berbicara. Caca menyimpulkannya sendiri.
"Gini, Ca?" Alva mengaruk kepalanya menatap cewek itu serius. Bingung ia harus jujur. Alis Caca terangkat. Ia menunggu kelanjutan ucapan itu.
"Gue, minta maaf sebelumnya." Lanjutnya sedikit terbata, memasang muka bersalah ke arah Caca dan meraba saku celananya, kembali.
"Gue benar-benar minta maaf." ucapnya makin grogi, kembali mengaruk kepalanya. Caca makin bingung melihat ekspresi aneh Alva.
"Kalung itu," Alva tersenyum cengengesan mengeluarkan kalung itu dari saku celananya dan mengengamnya erat.
"Kalung Gaby sama gue." Ucapnya cepat membuat Caca melotot kaget melihat Alva menunjukan kalung itu padanya.
"Lo gila!" teriak Caca spontan, ia memukul Alva kuat membuat cowok itu menjauh dan memasukan kembali kedalam sakunya. Ia sudah bisa tebak ini akan terjadi.
"Gue minta maaf, gue bisa jelasin ke elo, kenapa ada di gue, tapi dengarin gue dulu." Ucap Alva serius menangkis semua serangan bertubi-tubi Caca padanya.
"Lo gila, kenapa nggak lo balikin dan nunggu dia sakit dulu, lo jahat banget sumpah, gue emang suka sama lo tapi kalau saudara gue kenapa-kenapa bisa aja lo gue bunuh duluan, kenapa bisa ada sama lo?" ucap Caca berhenti memukul Alva. Alva tersenyum sedikit.
"Gue minta maaf, benaran, gue nggak tahu, barang ini berharga banget buat dia, gue temuin di Perpustakaan, jadi seharusnya lo berterima kasih juga ke gue, malah main pukul aja, sakit tahu." kesal Alva, sedikit membela diri karena dia sudah menemukan kalung itu. Caca memajukan mulutnya manyun, kembali memukul Alva jengkel.
"Okey, gue terima kasih lo yang dapet, tapi kenapa nggak lo balikin ke yang punya secepatnya." Caca memangku tangannya menantang Alva dengan tatapan super kesal.
"Itu, " Alva kembali nyengir.
"Gue lupa dan gue juga kesal sama dia karena udah bocorin rahasia gue, dan gue minta maaf." Jelas Alva. Ia sangat menyesal benar-benar mengabaikan kalung itu.
"Oh tuhan, barang berharga gitu lo lupain, karena lo, saudara gue hampir mati, sini kembaliin." ucap Caca mendekat. Meminta kalung itu pada Alva. Alva sontak menggeleng.
"Maafin gue dulu, baru gue kembaliin. Gaby di mana, sekarang?" tanyanya tersenyum.
"Nggak bakalan gue maafin, lo minta maaf ke Gaby dan kembaliin ke dia secepatnya, gue nggak mau tahu." Balas Caca jutek menatap cowok itu dengan tatapan sinis lalu beranjak pergi dari hadapan Alva yang kini mengangguk tersenyum.
"Ca, bentar, tarok tas gue ke kelas gue, plis, gue juga mau minta maaf soal masalah lain ke dia." Alva membuka tas punggungnya dan menyerahkannya pada Caca yang jadi bingung. Terpaksa mengambilnya.
"Gue cabut dulu." Tambahnya berlari menjauh. Kadang sebuah benda berharga buat orang itu dan di anggap biasa oleh orang lain, kita tidak pernah tahu apa benda berharga orang lain dan orang lain tidak tahu benda berharga apa yang kita miliki. Jadi lebih baik saling menghargai.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight (Completed)
Novela Juvenil"Tahap Revisi" ☺ Ada baiknya follow dulu baru baca. "Gaby, gadis yang menganggap nilai adalah segalanya bagi nya, dan berharap masuk ke kelas terbaik ketika SMA, tapi semua berubah setelah dia masuk ke kelas itu dan ia jadi membenci cowok yang jadi...