****
Mobil Alva melaju kencang, Alva fokus ke jalanan. Bunda nya masih memikirkan ucapan Alva tadi, ia tahu Alva pasti merasa kesepian selama ini, selalu di tinggal, selalu sendiri, ini bukan kesalahan Alva, tapi kesalahan dia yang tidak memikirkan Alva selama ini, ada rasa penyesalan menusuk di jantungnya, hingga membuat nya terasa sulit bernapas, begitu bodohnya, ia tidak mengerti apa yang dirasakan anaknya selama ini. Bulir air mata kembali menetes di pipinya.
“Bunda, minta maaf, bunda nggak pernah punya waktu buat kamu.” ucapnya dengan nada bergetar, Alva menoleh, konsentrasinya hilang melihat bundanya terisak nangis disampingnya. Alva menepikan dan menghentikan mobilnya, iya menarik napas nya dan menghembuskan perlahan, untuk kedua kalinya, ia kembali membuat bundanya bersedih.
"Aku, ngerti bun, bunda ngelakuin ini semua buat aku, buat kehidupan aku, nggak masalah bunda nggak ada waktu buat aku.” ucapnya lirih, ia mengerti soal itu, ia mencoba memahami setiap hari apa yang dilakukan bundanya itu demi dia, demi kakaknya. Tapi tetap saja ia merasa kosong dan semua sulit ia pahami, Alva mencoba tenang, matanya memerah, dadanya semakin sesak.
“Maafin bunda,” ulang bundanya lagi, ia menarik Alva kedalam pelukannya. Alva hanya diam, ia ikut memeluk bundanya, ia lupa kapan terakhir kalinya ia memeluk tubuh itu, rasanya sudah lama sekali. Pelukan hangat yang membuatnya begitu tenang, tanpa ada rasa beban meski dia sendiri merasa bersalah pada bundanya.
“Maafin Alva juga bun?” lirih Alva, bulir air mata yang di tahannya sejak tadi akhirnya jatuh juga, jatuh di dekapan orang paling dicintainya. Bundanya mengangguk, melepaskan pelukannya itu, menatap Alva dalam-dalam.
“Kamu sudah dewasa sekarang, bunda selalu bangga sama kamu.” lirih bundanya tersenyum, memegang kedua pipi Alva. Alva tersenyum. bundanya mengusap lembut rambut Alva.
“Besok kita jalan-jalan, Alva mau kemana?” tanya Bundanya tersenyum.
“Kemana aja, yang penting kita berempat.” ucap Alva tersenyum, ia mulai kembali menyetir.
“Okey, besok libur semester kita pergi, bunda janji.” ucapnya ke arah Alva.
“Okey, Aku pegang janji Bunda, kalau nggak aku cabut lagi besok.” ucapnya membuat Bundanya tersenyum.
“Bareng cewek itu lagi nggak boleh, kalau sendiri nggak apa-apa, masa anak bunda kasih dampak buruk ke anak orang, kalau papanya tahu pasti dia bakal marahin kamu.” kesal bundanya menjitak kepala Alva.
“Kalau tahu, aku bisa minta maaf.” ucap Alva tersenyum. Bundanya ikut tersenyum.
“Ooh, anak bunda bertanggung jawab ni,” goda bundanya, Alva mengangguk tersenyum.
“Harus dong bun, masa nggak, jadi orang emang harus gitu, kan anak bunda sama ayah.” ucap Alva tertawa.
“Kamu, nggak pacaran kan sama dia?” tanya bundanya berubah serius, Alva menoleh bingung, dia tidak menjawab. Dia heran dengan pertanyaan bundanya.
“Kenapa? Bun” Jawab Alva datar.
“Nggak, bunda cuma mastiin dia bukan pacar kamu, kan bunda mau comblangin kamu sama anak om Budy.” balas bundanya polos membuat Alva tertawa.
“Kalau iya, perjodohan nya batal?” tanya Alva lagi.
“Ya jelas, bunda sama ayah bakal kecewa total, tapi dia cantik nggak?” tanya bundanya penasaran. Alva tertawa, sejak kapan ia punya bunda yang tidak konsisten seperti ini.
“Hm, cantik sih, tapi jutek.” jawab Alva tersenyum.
“Oh, nggak apa-apa jutek, besok ajak main kerumah, bunda mau kenalin.” ucap bundanya serius, Alva tersenyum.
“Tapi, kita nggak pacaran,” balas Alva tertawa membuat bundanya langsung memasang muka kecewa.
“Yah, bunda kira benaran, dasar kamu durhaka, bohongin orang tua sendiri,” ucap bundanya kesal. Alva tersenyum. Ia sukses membuat bundanya dengan berbagai ekspresi hari ini, tersenyum, tertawa, sampai menangis.
“Kalau gitu, kita ke rencana bunda yang awal, kita comblangin, bunda yakin kamu nggak nyesal, dia cantik kok.” jelas bundanya kembali bersemangat.
“Cantik? Bunda udah pernah ketemu?” tanya Alva serius.
“Belum sih? tapi bunda yakin dia memang cantik, kan om Budy lumayan ganteng, jadi sudah pasti anaknya juga cantik, kayak kamu sama bunda.” ucapnya membuat Alva terkekeh.“Siapa bilang? Bunda jelek, kita nggak mirip, kayaknya, aku mirip ayah, deh, bukan bunda.” protes Alva tersenyum. Bundanya tersenyum, mengangguk, ia menyerah, karena dia tahu Alva selalu menolak jika dikatakan mirip dengannya. Lalu tersenyum senang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight (Completed)
Teen Fiction"Tahap Revisi" ☺ Ada baiknya follow dulu baru baca. "Gaby, gadis yang menganggap nilai adalah segalanya bagi nya, dan berharap masuk ke kelas terbaik ketika SMA, tapi semua berubah setelah dia masuk ke kelas itu dan ia jadi membenci cowok yang jadi...