Chapter 16

8.2K 361 2
                                    

***

Selamat Membaca

***


Alva masuk kedalam kamarnya, berjalan ke arah lemarinya, mencari celana seragam sekolahnya, berharap benda itu masih di sana. Tapi seragamnya sudah hilang dibawa Bik Inah.

"Aissst, sial." Gerutu Alva kesal berlari keluar menuju ruang cuci yang berada di sebelah dapur, tempat biasa Bik Inah mencuci. Bik Inah sedang memutar mesin cuci jadi kaget melihat Alva dengan napas ngos-ngosan berdiri di sampingnya.

"Bik.... Celana seragam senin aku mana?" tanyanya dengan nada terbata pada Bik Inah yang masih bingung.

"Oh... kirain nak Alva kenapa, itu lagi dicuci," tunjuknya Bik Inah polos pada mesin cuci yang sedang berputar membuat Alva kaget melotot.

"Pliss, Bik, hentikan dulu mesin cucinya." Ucap Alva Panik menepuk mesin cuci itu dengan kedua tangannya. sedikit panik Bik Inah mematikannya menatap Alva bingung membuka mesin cuci itu, mancari seragamnya, beruntung celana itu berada paling atas, Alva mengeluarkan celana seragamnya dan mulai mencari di semua saku celananya dengan wajah panic. Bik Inah bingung dan bertanya.

"Cari apa?" tanya Bik Inah heran.

"Itu Bik, kalung," sahut Alva serius.

"Oh... Ngomong dong dari tadi." Ucapnya membuat Alva menghentikan aksinya melotot ke arah Bik Inah.

"Bibik tahu, di mana?" ucapnya serius mengoyang tubuh wanita yang sudah lumayan tua itu.

"Punya Nak Alva, bibik kasih sama Bunda, kirain punya Bunda, soalnya Bibik ketemunya di dapur." Ucapnya sedikit tersenyum menatap Alva dengan raut wajah curiga.

"Aissst, Bibik, itu punya aku, Bunda mana?" tanya Alva makin panik kenapa bisa jadi serumit ini dan kenapa juga bisa ditemukan didapur. Alva tak mengerti.

"Kantor mungkin, mungkin ada di lemari riasnya, cari aja sana?" balas Bik Inah santai, kembali memutar mesin cucinya lagi.

Tanpa menunggu lama, Alva berlari ke kamar bundanya, dan mengobrak-abrik semua perhiasan Mamanya dan Alva bernapas legah, mendapati kalung itu di salah satu tempat perhiasan Bundanya. Bik Inah yang dari tadi ikut menyusul hanya bisa tersenyum.

"Punya siapa? Pacarnya?"

"Ayo ngaku?" tunjuknya dengan wajah curiga ke arah Alva. Alva menggeleng.

"Punya orang hilang, untung aja nggak Mama bawa pergi, kalau nggak bisa mati gue." Ucapnya bersyukur menatap kalung itu tersenyum.

"Bik, sorry, beresin yah, ntar kalau Bunda pulang, dia marah lagi." Ucapnya dengan nada memelas sambil menunjuk ke barang bundanya yang sudah berserakan ke arah bik Inah, berharap di bersihin.

"Oke, tapi beliin bibik Somay dulu, kalau nggak, yah nggak jadi." Ucap Bik Inah tersenyum.

"Yah Bik. Okey deh." ucapnya terpaksa menurut. Bik Inah tersenyum mulai membersihkan alat-alat Bundanya yang sudah berantakan itu.

***

Gaby menatap lurus keluar jendela. Pikirannya melayang jauh, mencoba menginggat kembali dimana dia kehilangan benda itu. Merutuki dirinya sendiri karena tidak mengingat benda itu. Bagaimana ia bisa seceroboh ini, hingga menghilangkan benda paling berharga miliknya. Oma yang sedari tadi duduk disana hanya bisa memandang Gaby dengan tatapan khawatir, wajahnya tampak pucat dan tak bersemangat sama sekali.

"Gab, ayo makan, sedikit aja." Bujuk Omanya dengan nada lirih kembali menyodorkan sendok berisi nasi ke arah Gaby, lagi-lagi Gaby mengeleng dan mendorong sendok itu. Ia sama sekali tidak lapar dan tidak selera untuk makan. Caca masuk dengan langkah cepat dan duduk di samping omanya melihat Gaby dengan wajah sedih.

"Tadi siang nggak makan juga, lo mau mati, katanya mau masuk Oxford, gimana, sih?" protes Caca kesal, Gaby hanya diam, masih menatap lurus ke luar jendela kamarnya. Oma dan Caca saling pandang dengan raut muka sedih.

"Gab, ayolah, bentar lagi Papa pulang kok." ucap Caca lagi berharap saudaranya itu mau mendengarkannya. Gaby masih diam tak berkutik.

"Gab, lo makin pucat, begok banget sih, kenapa sih lo, bikin khawatir aja, Oma, paksa aja dia." Caca mulai kesal menatap Gaby dengan mata memerah. Mama Caca masuk, langsung memeluk Gaby dengan wajah sedih. Ia baru saja pulang dari luar kota.

"Kenapa lagi mah?" tanyanya dengan suara lirih melihat Oma yang diam.

"Ayo makan sayang, jangan gini." ucap Mama Caca dengan suara bergetar, air matanya menetes di pipinya, dengan cepat ia menyekanya. Begitu juga Omanya, ia memalingkan wajahnya, berdiri dan keluar dari kamar Gaby. Ia masuk ke kamarnya, duduk terdiam di sana.

Menit berikutnya ponselnya berdering, ia meraih benda itu, melihat sekilas nama Budi di layar ponselnya, ia menempelkannya di telinganya.

"Hallo Ma, gimana Gaby?" tanyanya dengan nada khawatir, namun tak ada jawaban, Omanya menarik napasnya dalam-dalam, detik berikutnya ia baru berbicara.

"Masih sama, dia belum makan dari tadi pagi, ini sudah jam 10." Ucapnya dengan nada bergetar. Terdengar hembusan napas Budi di seberang sana. Ia tentu saja khawatir mendengar kabar ini.

"Aku akan pulang besok." Ucapnya lagi. Oma mengangguk, berharap papa Gaby bisa membujuk Gaby kembali.

"Oma!"

"Oma!!!" Caca masuk dengan langkah cepat dan memasang wajah panik, membuat Omanya bingung dan sontak saja ia berdiri.

"Oma, Gaby pingsan." Ucapnya dengan nada bergetar, wajah panik dan langsung membuat Omanya berlari ke kamar Gaby dengan tergopoh-gopoh. Melihat Gaby yang sudah tak sadarkan diri, Mama Caca mencoba membangunkannya, sedangkan Caca kini menelpon rumah sakit.

***

Starlight (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang