Chapter 21

8K 355 5
                                    

***
Selamat membaca


Di belakang sekolah siang itu. Chisa berdiri di depan Alva dengan raut muka bersalah, ia menunduk.

"Gue minta maaf sama Lo, Al, gue begok banget kenapa gue malah pindah sekolah kesini. Kalau gue sendiri jadi
bikin lo susah." Ucapnya dengan nada datar ke arah Alva. Alva memijit pelipis matanya, ia juga sedikit merasa bersalah, kenapa ia jadi menyalahkan Chisa. Alva memegang kedua bahu Chisa. Menatap gadis itu serius, semua perlu dijelaskan, dan ia tidak ingin Chisa salah paham padanya.

"Gue yang seharusnya minta maaf sama lo, sorry banget, kemaren itu otak gue benar-benar kacau banget, maafin gue juga, nggak apa-apa kok, lo nggak salah, gue aja yang terlalu berlebihan." Kata Alva serius. Chisa mengangkat alisnya menatap Alva bingung. Bukannya dulu dia juga marah pada Chisa, karena Chisa selalu mengekor di belakangnya setelah Gheisa meninggal. Ia Menatap Alva bingung.

"Lo, nggak marah sama gue?" tanya Chisa serius, Alva menggeleng, sedikit tersenyum, ia melepaskan pegangan tangannya pada bahu Chisa.

"Kenapa gue harus marah, jadi kalau gue marah, nggak mungkin juga lo operasi plastik buat nggak mirip lagi sama Gheisa, kan? Itu nggak mungkin banget, gue cuma minta sama lo, buat nggak bahas dia di depan gue lagi." Pinta Alva membuat Chisa mengangguk paham. Ia menatap cewek itu dengan tatapan datar, tidak membahas bukan berarti melupakan. Hal ini cukup sulit untuknya.

"Di sini, nggak bakalan cuma lo yang merasa kehilangan dia, tapi gue juga," tambah Alva serius, ia menatap gadis di depannya sedikit tersenyum.

"Gue cuma minta satu hal itu sama lo, bagaimana pun juga Gheisa nggak bakalan balik lagi ke gue dan gue masih berusaha buat ilangin dia di kepala gue. Minta tuhan kembaliin dia ke gue dan ke lo itu nggak mungkin." Tambah Alva lagi.

"Dan dihati lo juga," sambung Chisa dengan raut wajah serius membuat Alva terdiam. Yah, dari hati, tapi buktinya sampai detik ini ia masih sama seperti dulu, masih butuh waktu untuk memulai kembali semuanya.

"Gue mohon, banget sama lo, buka hati lo buat orang lain, jangan hindarin lagi cewek yang dekat sama lo, atau lo bisa cari cewek yang bikin lo nyaman dan salah satu tujuan gue kesini juga untuk itu, bantu lo lupa dari Gheisa, kalau gue bisa, gue akan buang wajah ini dari tubuh gue, biar lo nggak ingat lagi ke dia, tapi gue ngak bisa, jadi gue mohon dengan sangat sama lo, buka hati lo, dan gue mohon jatuh cinta lagi dengan begitu lo bakalan lupa sama Gheisa, ini sudah 3 tahun dan awalnya gue memang marah, gue juga nggak mau lo dekat sama siapapun. selain sama Gheisa, tapi gue sadar sekarang bukan seperti itu, gue yakin Gheisa juga punya pikiran yang sama kayak gue, jadi gue mohon buka hati lo buat cewek lain," jelas Chisa serius, ia menatap Alva dalam-dalam, Alva masih diam, mencoba mencerna semua ucapan Chisa di depannya. Chisa tersenyum sedikit, ia menepuk bahu Alva lembut.

"Gue yakin lo bisa, nggak mungkin juga lo masih terus nutup hati lo buat orang lain. Ucapan Aurel itu benar Al. Jadi lo juga nggak usah marah ke dia. Awalnya gue pikir lo udah senang di sini dan lupain Gheisa dengan banyaknya teman lo di sini, ternyata gue salah, lo masih sama kek yang dulu." Ucapnya serius. Alva masih diam mendengarkan. Semua ucapan Chisa benar, dia masih sama seperti yang dulu. Tubuhnya saja yang sekarang di sini. tapi hati dan pikirannya masih tertinggal jauh di sana dan bersama orang yang sama. Entah sampai kapan Alva bisa memulainya lagi.

"Gue mohon, buka hati lo, Al." Pinta Chisa lagi, ia menepuk bahu Alva lagi, tersenyum. Ia juga tak mau Alva seperti ini, terus menutup hatinya, walaupun dia sendiri juga sebenarnya tetap ingin Alva jadi milik saudara kembarnya. Alva menunduk diam, ia sadar selama ini dia selalu menjauh dari orang-orang yang mendekatinya, dan terus menutup hatinya.

"Ternyata selama ini tinggi lo aja yang bertambah." Chisa tersenyum, Alva menatap Chisa, sedikit tersenyum.
"Jangan sedih gitu dong, Al, tapi gue minta tetap ingat ucapan gue." Ulang Chisa lagi. Alva hanya diam, sedikit tersenyum tak menyangka sahabat kecilnya itu sudah tambah dewasa. Dewasa dari pikirannya selama ini.

"Tapi lo nggak bakal pindah sekolah lagi, kan?" tanya Alva bingung. Chisa tertawa, ia menutup mulutnya.

"Yah nggak lah, lo pikir pindah sekolah gampang, awalnya kemaren malam gue pikir iya, tapi setelah gue bicarain sama Mama, Mama marahin gue dan dia titip salam sama lo, gue hampir lupa, dari tadi baper mulu, gara-gara lo." Jawabnya tersenyum.

Alva ikutan tersenyum, ia mendekat dan memencet hidung Chisa kuat.

"Nggak nyangka gue, lo udah dewasa gini." Kata Alva tersenyum. Chisa memukul tangan Alva kesal, hidungnya tampak memerah dan cukup terasa perih.

"Alva, sakit tahu, lo yakin nggak bakal main basket lagi?" tanya Chisa mengusap hidungnya yang merah dengan tangannya. Alva mengangguk.

"Iya, gue mesti cari hobby baru, gue nggak mau cari masalah sekarang, gue mau hidup tenang dan damai." Ucap Alva tersenyum penuh semangat.

"Serius lo?" sahut Caca dan Rayn berdiri tak jauh dari tempat Chisa dan Alva berdiri, keduanya lantas menoleh, melihat Rayn, Caca, di susul Raya dan Aurel dari belakang.

"Lo, ngapain di sini?" tanya Caca sedikit jutek menatap Alva dan Chisa secara bergantian.

"Pacaran?" sambung Rayn diikuti anggukan Raya dan Caca, hanya Aurel yang diam melihat ke arah Alva dengan raut muka bersalah.

"Al, gue minta maaf soal kemaren," ucap Aurel serius, Alva menoleh menatap gadis itu, Alva mengangguk.

"Nggak perlu minta maaf juga, gue udah maafin, gue juga salah sama lo, maafin gue, oh yah, lo itu bukannya minta maaf sama gue tapi sama Gaby." Jawab Alva serius. Aurel menunduk, Caca, Raya, Rayn, Chisa dan Alva memandang Aurel bingung.

"Gue butuh waktu buat minta maaf sama dia, jadi gue minta maaf sama lo dulu." Jawabnya mengangkat kepalanya menatap Alva serius.

"Lo sih, Gaby nggak pernah bikin masalah sama lo, lo bawa-bawa." Kata Raya kesal.

"Iya gue tahu, gue salah, tapi kalian juga mau maafin gue, kan?" ucapnya menatap satu persatu pada Alva, Chisa, Caca, Rayn dan Raya bergantian.

"Udah, kita maafin kok, lo harus minta maaf sama Gaby, dan gue tahu kok lo lakuin itu demi gue, gue nggak nyangka ada begitu banyak teman yang peduli sama gue, tapi gue kecewa karena lo itu salah buat nolongin gue dan nggak seharusnya bilang Gaby yang nyuruh lo segala, dia memang tahu dan waktu itu kebetulan juga dengar," jelas Alva serius. Aurel mengangguk paham. Ia mengangkat kepalanya menatap Alva.

"Iya Al, gue tahu, maafin gue dan maafin gue juga soal kemaren, gue nggak bermaksud seperti itu, tapi mulut gue dengan begoknya bilang gitu. Gue benar-benar nyesal Al." Ucapnya lagi-lagi tampak sangat bersalah.
Mengakui kebodohannya itu.

"Udah, nggak apa-apa kok." Jawab Alva tersenyum. Kemudian menoleh ke arah Caca, Rayn, Raya secara bergantian.

"Gue mau tanya, sejak kapan lo berempat dengarin kita bicara?" tanya Alva penuh selidik ke arah keempat temannya itu.

"Baru aja kok, pas lo bilang nggak bakal main basket lagi." Sahut Rayn disertai anggukan Caca, Raya bersamaan.
"Kita mau lo balik ke basket lagi Al." Tambah Caca.

"Iya Al, balik aja, nggak seru lo, masa keluar, sih?" kesal Raya.

"Iya Al, Pak Charles juga pengen lo balik lagi ke Tim Al, dia udah ngomongin ini ke lo belum?" tanya Rayn.

"Udah. Kemaren, dan gue mikir dulu, nggak usah ngarepin gue lagi." Alva serius, ia menatap Rayn serius.

"Gue percaya, lo lebih baik dari gue, ya udah yuk, kirain orang-orang kita ngapain disini." Ucap Alva beranjak pergi, menarik Rayn. Alva sedang tidak ingin membahas soal basket saat ini, toh, hanya bikin dia sedih dan sebenarnya Alva ingin balik lagi, tapi kalau Baim yang mengajak dia lebih dulu untuk kembali pada Tim. Sampai saat ini Baim masih diam dan tidak mau berbicara dengannya.
***

Starlight (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang