Chapter 86

6.1K 292 3
                                    


*

**

Hari sudah mulai gelap, Alva menyodorkan sebotol minuman ke tangan Gaby. Gaby mengambilnya.
Ia sudah tampak lebih baik dari tadi.

"Thank's Al. Lo pulang Aja, gue mau disini dulu." lirih nya ke arah Alva.

"udah gelap, nggak mungkin lo disini, besok kita ujian." ucapnya menarik paksa Gaby masuk ke dalam mobilnya. Mau tidak mau Gaby terpaksa mengikuti padahal ia masih tidak ingin pulang.

Alva memacu mobilnya cepat.
"Al, gue belum mau pulang.'' lirihnya ke arah Alva.

"Gue nggak ngajak lu pulang." sahut nya menepikan mobilnya disebuah taman.  Lalu menyuruh Gaby keluar.

"Yuk, Turun, kata Caca lo sering kesini." ucapnya membuat Gaby menoleh bingung, lalu mengangguk. Turun dari mobilnya.

Ia sudah lama tidak disini, ia dan ibunya memang sering melihat bintang disini. Tapi sejak ibunya tidak ada ia tidak pernah lagi disini, padahal ia sangat rindu dan ingin kesini.

"Kok lo tahu gue semua sih." tanya Gaby bingung menatap Alva yang berdiri di depannya

"Nggak tahu banyak sih, tapi cukup lah.'' ucapnya tersenyum duduk di salah satu bangku taman. Di ikuti Gaby yang duduk di samping Alva.

"Gue, emang udah lama nggak ke kesini." ucapnya serius.

"Kenapa?, lo ngindarin semua yang lo suka."  tanya Alva serius.
Gaby mengangguk, lalu tersenyum.

"Gue juga nggak tahu kenapa? Gue cuma merasa perlu di jauhi, padahal..." Gaby menunduk lagi, ia kembali tersenyum.

"Padahal lo butuh, cewek begok, kenapa juga lo hindari, semakin lo hindari lo makin semakin sakit pas lo lihatnya, mending lo hadapi dan berusaha itu bukan sesuatu yang buruk, dan padahal lo butuh. Gue baru tahu cewek pintar kayak lo begok soal ini." jelasnya membuat Gaby mengangguk pasrah, itu memang benar.

"Yah, lo benar. Benar banget, gue memang menghindari semua yang gue suka sejak mama pergi." ucapnya lirih.

"Dan lo pikir mama lo suka lihat lo kayak gini, gue yakin dia pasti benci banget lihat lo, nahan tangis setiap hari, padahal lo butuh nangis, begok banget sih, lo." kesal Alva lagi.

"Yah, lo benar, gue emang begok, banget malah." sahutnya tertawa. Menyadari betapa lucunya ia. Alva menatap Gaby sambil menggeleng kesal.
Ia tak mengerti dengan isi kepala cewek itu.

"Dan gue benar-benar nggak tahu sekarang, gue udah bilang kalau gue ikhlas papa nikah lagi, padahal gue nggak setuju sama sekali. gue cuma mikirin papa doang, dan gue sendiri masih ragu, apa yang mesti gue lakuin sekarang, apakah pilihan gue itu tepat atau Nggak.
Kadang gue tertawa sendiri, mengingat betapa lucunya hidup gue. Al, lo tahu nggak gue emang nggak pernah cerita apapun pada siapa pun, gue membiarkan orang menebak gue itu kayak apa, seburuk apa gue dan gue terlihat kuat padahal gue nggak seperti itu, kadang gue iri sama lo, sama kak Caca, saat oma lebih peduli ke dia daripada ke gue, itu dimana titik tersedih gue Al. Gue memang orang yang nggak mudah dekat dan bicara banyak siapapun, termasuk sama oma, tapi karena oma itu bukti nyata, dia ada, gue bisa lihat kalau oma jauh lebih sayang sama caca daripada gue, saat itu gue jadi drop melebihi apapun, gue sedih saat lihat oma berbicara banyak dan tertawa bareng Caca, sedangkan sama gue, oma peduli nya cuma pas gue sedih, bahkan lebih parah nya oma nggak pernah marahin gue, gue tahu karena dia takut gue sedih, dan padahal gue sebenarnya butuh itu, butuh saat dia marah ke gue sama seperti dia marah ke caca, gue juga pengen kayak gitu, pengen di perlakukan seperti itu, bahkan dengan bodohnya gue pernah sengaja mecahin gelas kesayangan oma biar dia marah ke gue, tapi lo tahu apa yang gue dapat, cuma senyuman yang mengatakan kalau itu tidak masalah. Rasanya sakit banget Al, kenapa gue harus di bedahin seperti itu, kenapa gue dianggap sangat menyedihkan di mata oma, bahkan di semua mata orang yang ada dirumah itu, gue merasa lucu banget sama hidup gue. Gue hampir tiap hari berpikir untuk kabur dari sana, tapi disaat itu gue sadar, gue nggak punya siapa-siapa selain mereka. Kalau gue kabur, kemana gue pergi, balik kerumah mama jauh lebih nggak mungkin, gue bisa gila sendirian disana, mau ikut papa yang super sibuk, nggak mungkin lagi. Dan gue nggak tahu lagi kemana gue harus pergi. Gue sih nggak minta lebih sama oma, cukup perlakukan gue sama seperti Caca, cukup itu saja, karena gue nggak semenyedihkan itu. Gue juga tahu gue Itu memang sangat menyedihkan, tapi nggak usah di perjelas lagi dengan cara mereka ke gue." jelasnya membuat Alva terdiam, menatap Gaby serius. Ia bisa melihat kesungguhan bicara Gaby.

"Lo tahu Caca itu orang paling buat gue iri, pertama kali gue tinggal di rumah oma, gue udah iri sama dia, gue iri dia disambut hangat sama oma, di perlakukan selalu istimewa, dan itu memang menarik banget, gue pengen kayak gitu Al, tapi gue ngak pernah dapatin hal itu sampai sekarang." ucapnya sedikit tersenyum. Menatap lurus kedepannya.

Alva menoleh menatap cewek itu datar, ia tahu Gaby memang butuh tempat curhat saat ini.

Gaby menarik napas berat, lalu menghembuskan perlahan.

"Tapi nggak apa, kenyataan nya memang gitu kan, makasih udah dengerin curhat gue, jujur ini pertama kalinya gue curhat dan rasanya cukup melegakan. Makasih Al." ucapnya tersenyum. Alva mengangguk sedikit tersenyum.

"Kalau lo butuh, gue bisa kapan aja buat tempat curhat lo, kok." sahutnya jujur. Gaby tersenyum mengangguk.

"Hm, makasih Banget, tapi lo bisa jaga rahasiakan, awas kalau lo bocorin, nggak gue kasih ampun. Terutama Caca." Gaby menatap Alva dengan tatapan penuh ancaman jika cowok itu membocorkan rahasianya.

"Pasti, tapi...gue nggak janji juga, sih. Kalau lo...nggak ngikutin kemauan gue." jawabnya tersenyum. Gaby menatap Alva kesal.

''Omg, lo ngeselin juga yah. oke, lo mau apa?." sahut nya berdiri di depan Alva. Berkacak pinggang. Alva tersenyum memikirkan beberapa idenya. Tapi mendadak Alva tak punya ide sama sekali. Ia masih memikirkan beberapa ucapan Gaby tadi.

''besok gue kasih tahu...yuk balik. udah malem, gue juga laper banget." jawabnya berdiri menarik Gaby pergi. Gaby mengikuti cowok itu dengan tatapan penuh tanda tanya.

***

Starlight (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang