Mobil sport berwarna putih itu melesat melewati gerbang yang menjulang tinggi. Lalu berhenti tepat di pelataran salah satu sekolah elite disana. Tidak sembarang anak bisa masuk ke sekolah ini. Seleksi yang ketat, persyaratan yang banyak, serta sulitnya soal test di sekolah inilah yang mengakibatkan hanya anak-anak berkemampuan di atas rata-rata saja yang menjadi penghuni sekolah bertaraf internasional itu.
Bukan suatu keberuntungan Amanda menjadi salah satu siswa disana. Bukan pula karena pangkat orang tua. Ia berhasil masuk ke sekolah ini berkat kemampuannya sendiri. Ya, sekolah itu memang tidak memandang status apa pun dari calon peserta didiknya. Yang mereka lihat hanyalah murni kemampuan dari mereka. Percuma jika menerima anak orang-orang kaya tapi hanya akan mencoreng reputasinya. Lebih baik mereka menerima siswa dari kalangan menengah kebawah tapi menunjukkan prestasi yang luar biasa. Dan karena sistem mereka pula, tidak ada kasus bullying di sekolah ini.
Seorang pria bersetelan formal turun dari kemudi. Ia mengenakan kacamata hitam yang menggantung di hidung mancungnya. Ia memandang gedung yang digadang-gadang adalah sekolah terbaik disana. Kejadian langka itu menarik semua pasang mata untuk menatapnya. Turunlah kaki jenjang seorang gadis yang tidak asing bagi mereka.
"Oh my god! Amanda!!!" pekik salah satu siswa perempuan dari kejauhan. Ia berlari menghampiri Amanda yang tampak mengobrol dengan pria tampan itu.
"Nanti aku yang akan menjempmu."
"Tidak perlu. Terima kasih sudah mengantarku."
"Aku memaksa," sarkas David.
"Ti-"
"Amanda!" potong seorang gadis blonde hair menghampiri mereka. Ia berdiri tepat di tengah-tengah mereka.
"Waw! Siapa dia?" tanya gadis itu pada Amanda sambil melirik David. Senyum di bibirnya tidak kunjung surut.
"Di-"
"Aku David. Kekasih Amanda," potong David dengan mengulurkan tangan kanannya. Ia melepas kacamata hitam yang sedari tadi menggantung di batang hidung dengan tangan kirinya.
Amanda dan gadis itu tercengang. Mulut mereka menganga tak kalah lebar dari kuda nil yang tengah menguak. Tatapan mereka saling beradu. Namun gadis di depan Amanda mengulum senyum dan menerima jabatan tangan David.
"Aku Stephanie. Teman Amanda."
Mereka melepas jabatan tangan. Stephanie Rosie Allepo, salah satu teman yang paling akrab dengan Amanda. Tatapan Stephanie beralih menatap Amanda dengan terus mengulum senyum yang terkesan menggoda. Amanda mengangkat satu alisnya melihat senyum nakal temannya. Dalam hati Amanda benar-benar geram dengan David. Mengapa dia harus bercanda dengan hal seperti itu? Memalukan!
"Kenapa kau tidak pernah bercerita padaku, hem? Atau jangan-jangan.."
"Kenapa kau percaya dengan ucapannya yang tidak masuk akal itu?" sambar Amanda yang terlihat sangat kesal. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada. David hanya tersenyum memperhatikan tingkah mereka.
"Aaa.. kau ini. Jangan-jangan, kau kabur dari mansion Papamu karena ingin tinggal bersamanya. Jujur saja Amanda." Stephanie terus saja melontarkan argumennya. Ia tidak berhenti menjahili temannya.
"Itu sama sekali tidak ada hubungannya. Kau ini! Percaya sekali dengan perkataannya!" sarkas Amanda dan melenggang pergi. Stephanie pun terkekeh mendapati temannya yang sangat geram itu. Ia berlari kecil mengikuti langkah mantap Amanda.
"Amanda! Jangan lupa nanti aku yang menjemputmu!" teriak David sambil mengangkat tangan kanannya.
Terlihat Amanda mencebik kesal. Namun Stephanie terus saja terkekeh disampingnya. Semua perhatian tertuju padanya. Ia merasa sangat malu. Kemudian David mengemudikan mobilnya dan melaju meninggalkan area sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Count Down [The Rest Of Life]
Romance#14 in action (01-02/02/2019) Setiap kali mata ini terbuka, semua orang akan berkata betapa indahnya dunia ini. Tuhan menghiasnya dengan hangat sinar mentari di pagi hari menampakkan segala aktivitasnya. Taburan bintang di langit malam dengan se...