PART 44

151 10 0
                                    

    Lampu di atas ruangan di ujung lorong itu menyala tanda ada kegiatan di dalamnya. Orang-orang yang berada di depan ruangan itu memasang wajah murung. Terutama gadis yang baru saja merayakan ulang tahun ke 20nya beberapa hari lalu. Tubuhnya bergetar hebat, matanya mendelik ketakutan sampai seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Wanita paruh baya yang duduk berhadapan dengannya tak berdaya dengan air mata yang terus mengalir bagai oase. Dua jam berlalu sejak mereka sampai disini. Lampu itu tak kunjung padam, namun seseorang berjas putih panjang itu keluar dan menanyakan siapa keluarga dari pria yang sedang ditanganinya.

"Iya, Dok. Saya Richard, ayah David."

"Tulang kering kanan pasien hancur dan kami harus melakukan tindakan, Tuan. Jika tidak, itu dapat merusak jaringan yang lain," desis pria berjas putih itu.

"TIDAK!!" pekik wanita paruh baya yang duduk di depannya kini beranjak mencengkeram kuat kerah jas dokter itu. "Putraku tidak boleh kehilangan kakinya.. Tidak dengan amputasi, Dok!!" teriak wanita itu diakhir desisannya.

Mata gadis itu membulat sempurna mendengar penuturan wanita itu. Tidak.. tidak.. tidak..., rancau gadis itu dalam hati. Tubuhnya semakin bergetar. Orang kepercayaan Papanya mengetahui nonanya sedang terguncang hebat. Ia melihat empat garis merah di lengan otot nonanya. Ia pun melepas jasnya dan memakaikannya pada gadis itu.

"Sayang, sudah! Thomas dan Eduardo akan meminta dokter mengusahakan segalanya agar putra kita tidak cacat, okey?"

Wanita itu sedikit tenang mendengar penuturan lembut suaminya. Sahabatnya juga memeluknya erat menenangkan. Ia terduduk lemas dan menatap gadis di depannya. Ternyata bukan hanya dia yang hancur, gadis itu sama hancurnya dengan dirinya atau mungkin lebih.

"Jangan diamputasi, Dok! Kami mohon. Dia, dia.." Tn. Thomas menjambak rambutnya frustasi. "Dia adalah kebanggaan kami. Kami mohon.."

"Tapi Tuan, hal itu dapat merusak jaringan yang lain. Kami takut jika itu malah akan menyebar," papar Dokter itu penuh penyesalan.

"Kami akan melakukan yang terbaik demi perawatan putra kami, Dok. Kami mohon.." Tn. Thomas mengatup tangan Dokter itu dengan penuh harap.

Dengan berat hati, Dokter itu mengangguk. Operasi mulai berjalan lagi. Dokter bekerja lebih keras untuk menyatukan kembali tulang David. Tujuh jam sudah berlalu sampai David dipindahkan ke ruang ICU VVIP. Keluarga terdekat boleh menjenguk dengan syarat hanya satu atau dua orang saja. Gadis yang masih mengenakan gaun biru muda itu hanya berdiri memegang kaca pintu ruangan David. Matanya menerawang melihat pria yang terbaring disana. Tangan yang memegang kaca itu bergetar dan matanya menitikkan cairan bening tanpa diperintah.

David?

"Aarrgghh,"

Amanda menatap lengannya yang terdapat empat garis merah. Itu dia dapatkan saat lampu itu benar-benar menimpa David, sampai David menggeram menahan sakit itu hingga tak sadar mencengkeram lengan Amanda begitu kuat. Bibir Amanda bergetar dan pucat pasi. Ia merasa semua ini karenanya. Jika saja David tidak menyelamatkan dirinya, David tidak mungkin akan berakhir seperti ini.

"Anda tidak masuk, Nona?" tukas sekretaris David saat memergoki Amanda yang hanya diam dengan tatapan kosong.

Amanda yang melamun sedikit terperanjat namun langsung menggeleng pelan. Eduardo menatap nanar Amanda. Gadis itu hancur. Masalah bertubi-tubi datang kepadanya. Tidak ada yang tahu sampai kapan dia sanggup bertahan.

"Masuklah, Nona! Saya yakin Tuan David menginginkan Anda ada di sampingnya," tukas Eduardo.

"Tidak, Paman Ed. Bagaimana mungkin aku yang menyebabkan dia berakhir seperti ini dengan egoisnya berada di dekatnya."

Count Down [The Rest Of Life]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang