Amanda duduk termenung di sebuah taman dalam kampusnya. Di meja kecil depannya terdapat sebotol air mineral yang menemani kesendiriannya. Pikirannya kosong, begitu pula dengan pandangannya. Terlalu banyak yang harus ia pikirkan hingga rasanya kapasitas otaknya tak sanggup lagi menampung. Ia memfokuskan pikirannya lagi dan menarik jiwanya kembali pada tubuhnya. Ia hela napas panjang.
"Apa kucing terjun kemarin berhasil menakutimu, sampai kau merubah pos merenungmu, hem?"
Seorang lelaki berambut cokelat keemasan dan bermata biru itu duduk dengan mengangkat satu kakinya lalu menopangkan ke kaki lainnya. Ia duduk tepat di depan Amanda, dengan membawa sebungkus kripik kentang ukuran jumbo dan menaruhnya di atas meja. Amanda diam tidak menanggapi pertanyaan lelaki itu. Lelaki itu juga tidak masalah Amanda tidak menjawabnya. Sudah menjadi hal biasa untuknya. Susah memang baginya untuk berbicara dengan Amanda. Mereka saling diam. Pandangan mereka juga ke arah yang berbeda.
"Kenapa kau selalu bersedih, Amanda? Bukankah David sudah siuman, hem?"
Amanda diam.
"Ini sudah satu bulan sejak kita kuliah lagi. Dan aku selalu melihatmu seperti ini. Seharusnya kau tersenyum bahkan tertawa bahagia, Amanda."
"Bahagia?" Amanda tertawa hambar.
Lelaki itu mengerutkan dahi. Dia memang tahu David sudah siuman. Tapi dia tidak tahu jika David berubah. Padahal dia sudah sangat sibuk menata hatinya untuk membiarkan Amanda bahagia dengan pria yang dia cintai.
"Kenapa kau berkata seperti itu?"
Tiba-tiba Amanda menangis histeris. "Albert! Katakan padaku bagaimana rasanya bahagia itu! Kenapa aku tidak merasakannya?! Katanya.. Tuhan itu adil! Tapi apa?! Kenapa hanya aku yang menderita? Kenapa hanya aku yang terus tersakiti? Kenapa hanya aku yang hancur? Kenapa..." gerutu Amanda dengan air mata yang bercucuran.
Albert diam tercenung. Ia meneguk salivanya dan menurunkan kakinya yang diangkat tadi. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat pada Amanda. Tangannya terayun hendak meraih Amanda. Namun dengan cepat Amanda beranjak pergi meninggalkan Albert yang masih kebingungan. Bahkan tangan Albert masih menggantung di udara.
Amanda berjalan cepat menyusuri koridor. Ia terus mengusap air mata yang sesekali masih menetes. Sungguh berat dia harus menerima kenyataan ini. Hatinya nyeri saat ia mencoba memahami semuanya. Bahkan akan remuk jika dia melihat wajah David yang sangat dingin padanya.
BRAK!!
Mereka saling terpental. "Maafkan aku," tukas Amanda seraya berlalu. Namun gadis yang ditabraknya mencekal pergelangan tangannya. Amanda pun menoleh dan dia dapati Julia yang tengah berhadapan dengannya.
"Oh, Julia. Maafkan aku."
Julia menatap Amanda dengan wajah datar. "Aku ingin bicara denganmu."
"Maaf aku tidak bisa," balas Amanda sambil melepaskan cekalan Julia di pergelangan tangannya, lalu berjalan pergi. Julia mencebik kesal. Baru saja ia akan berlalu, gadis berambut hitam legam muncul di hadapannya.
"Hay, Julia!" ucapnya dengan senyum penuh arti.
"Mau apa kau?!" sarkas Julia.
Gadis itu tidak menjawab dan menggandeng paksa Julia untuk ikut bersamanya. Irish dari kejauhan membulatkan mata dan berlari mengejar mereka. Bukan maksud untuk bergabung, tapi membuntuti. Dia ingin tahu apa yang akan mereka lakukan.
"Eliza! Mau kau apakan aku, ha?! Lepas!"
Eliza menyeretnya paksa melewati lorong-lorong yang mulai sepi, mengingat sekarang sudah memasuki petang. Ia menggelandang tangan Julia sampai ke belakang kampus. Ada satu ruangan yang menjadi gudang disana. Mata Julia membulat ketika Eliza menyeretnya menuju gudang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Count Down [The Rest Of Life]
Romance#14 in action (01-02/02/2019) Setiap kali mata ini terbuka, semua orang akan berkata betapa indahnya dunia ini. Tuhan menghiasnya dengan hangat sinar mentari di pagi hari menampakkan segala aktivitasnya. Taburan bintang di langit malam dengan se...