Kicauan burung yang bermain di dahan rindang pepohonan yang tumbuh begitu subur memberikan ketenangan tersendiri. Awan-awan putih yang berbaris bagai tentara perang mengudara memberi sedikit celah warna biru di atas sana. Semilir angin lembut yang menyapu pori-pori terasa sejuk bagi siapa saja yang menghirupnya.
Wanita di atas kursi roda dengan lima ikat bunga segar di pangkuannya tengah melewati beberapa batu pusara di pemakaman umum kota ini. Tangan kokoh yang mendorongnya pasti menuju deretan nama di ujung sana terlihat bersemangat. Mereka berhenti tepat di depan pusara yang sengaja disandingkan. Wanita itu menurunkan dua ikat mawar merah muda masing-masing satu di atas tanah kuburnya. Ia memejamkan mata dan berdoa.
"Kak Kayle.. Kak Andrew.. Semoga kalian tenang di alam sana," ucapnya.
Pria yang datang bersamanya mendorong kursi roda itu menuju tempat selajutnya. Reynand Glofazky. Wanita itu tersenyum miris saat membacanya. Pria yang berbaring disana adalah seseorang yang luar biasa untuknya. Sejenak, kenangan kebersamaan mereka melintasi ingatannya.
"Terima kasih telah menjaga istriku selama ini," ucap pria itu dengan meletakkan seikat bunga anyelir berwarna magenta di samping batu itu.
Setelah berdoa, mereka berlanjut menuju tempat selanjutnya. Wanita itu tersenyum melihat dua pusara yang berjajar. Hatinya berdesir nyeri ketika ingatan itu kembali padanya. Ia letakkan bunga mawar merah yang biasa pemuda itu dulu berikan kepadanya.
"Albert.. Aku harap kau damai disana. Kau tahu? Aku tidak akan pernah melupakanmu," ucap wanita itu.
Pandangan suami istri itu beralih pada batu nisan di samping makam Albert. Camellia Angela Benedict, itulah nama yang terukir disana. Tangan manis wanita itu bergetar membelai batu itu. Mereka letakkan bersamaan seikat bunga krisan merah muda di atas sana.
"Kakak. Aku tidak akan pernah melupakan semuanya. Semuanya yang telah kau lakukan untukku. Aku- aku akan menjaga semuanya dengan segenap jiwaku."
Suara wanita itu bergetar ketika mengucapkannya. Pria yang mana suaminya tersenyum dan mengelus lembut sisi kepalanya. Mereka pun memutuskan untuk pergi dari sana.
"Pipi? Aku seperti pernah melihat mereka," seru seorang gadis bermata hijau dalam pelukan ayahnya.
Pria paruh baya itu tersenyum dan membelai rambut pirang anaknya. "Tentu. Mereka Tuan dan Nyonya Luther."
Gadis itu mangut-mangut mengerti. Seketika senyum lebar ia berikan. "Ayo cepat, Pipi! Pasti Mimi dan Kak Michael tidak sabar menunggu kita. Aku sudah bawakan permen kapas kesukaannya," seru gadis itu berjingkrak di antara makam.
"Sudah Pipi bilang tidak perlu membawa itu!"
Gadis itu mengerucutkan bibirnya. "Kenapa? Bukankah kita harus membawakan apa yang mereka inginkan. Siapa tahu malam nanti mereka bangun dan memakannya," seru gadis itu.
Gadis itu kembali tertawa dengan girang. Ia bahkan berlari melompati makam yang berbaris disana.
"Leillya! Tidak boleh dilangkahi!"
"Ahahaha! Ini menyenangkan, Pipi! Ayo! Ayo!"
Pria itu hanya mampu tersenyum miris melihat keadaan putrinya. Namun ia harus menjaga satu-satunya hal yang sangat berharga untuknya. Panjatan doa terus ia lantunkan pada sang maha Kuasa agar memberikan kesembuhan pada gadis cantik yang berlari disana.
Di dalam mobil, pasutri itu diam dengan pikiran masing-masing. Wanita itu menatap suaminya yang fokus menyetir. Ia raih tangan bebas suaminya membuat pria itu menoleh dan tersenyum.
"Ada apa?"
Wanita itu menggeleng dan tersenyum. "Tidak. Hanya saja. Aku merasa semua orang menyayangi kita. Bahkan mereka rela memberikan kehidupan mereka demi kebahagiaan kita," ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Count Down [The Rest Of Life]
Romance#14 in action (01-02/02/2019) Setiap kali mata ini terbuka, semua orang akan berkata betapa indahnya dunia ini. Tuhan menghiasnya dengan hangat sinar mentari di pagi hari menampakkan segala aktivitasnya. Taburan bintang di langit malam dengan se...