PART 45

170 12 0
                                    

    Entah cangkir yang keberapa kali yang ia sesap. Bahkan meja itu hampir penuh dengan cangkir yang sudah tandas isinya. Pelayan kafe ini sampai menggeleng heran dengan wanita bersurai cokelat itu. Wanita itu hanya diam sembari menyesap cokelat susu hangat dengan terus berderai air mata. Manik cokelatnya tidak begitu jelas karena memerah, berkaca, dan menyipit karena kelopaknya sudah membengkak tak keruan. Wanita berprofesi model itu sudah menangis sejak dia memasuki kafe ini. Entah mengapa suasana hatinya begitu buruk sekarang.

"Bagaimana? Aku langsung kesana?" tukas seorang pria yang duduk berhadapan dengan seorang wanita.

Wanita itu mengangguk. Pria berbalut jaket donker itu pun beranjak dan duduk di depan wanita yang menangis tak keruan tadi. Menyadari ada yang duduk di depannya, wanita itu sedikit mengangkat kepalanya agar menemukan wajah seperti apa yang berani mengusiknya dengan duduk di depannya tanpa permisi.

Tampannya, gumam wanita itu dalam hati saat ia benar-benar bertemu tatap dengan pria itu. Pria itu tersenyum hangat membuat dirinya sedikit berdebar. Ia memalingkan wajahnya cepat membuat pria itu terkekeh.

"Maaf. Aku melihatmu terus menangis sedari tadi. Aku hanya ingin menjadi langit gelap yang mendengarkan curahan bintang yang kehilangan cahayanya," ucap pria itu.

Wanita itu kembali menatapnya, "Ct! Tidak perlu," ketusnya.

Pria itu mengangkat kedua alisnya lalu melambai memanggil waiter. Ia memesan segelas kopi hitam dan sepiring french fries. Pria yang berusia sekitar 28 tahun itu berkutat pada handphonenya. Wanita di depannya menatap tajam pria itu. Melihat kelakuan pria yang duduk di depannya, ia menghela napas jengah dan memalingkan wajahnya sembari menyeruput cokelat susunya.

"Jadi.. siapa kau?" ucap wanita itu akhirnya.

Pria itu mengangkat kepala menatapnya. "Aku Christian. Tidak perlu memperkenalkan diri, aku tahu kau. Weslee, kan? Weslee Anderson," tukas Chris.

Weslee sempat kaget lalu mengangguk pelan. Pria bernama Christian itu menarik senyum. "Lalu, apa yang membuat tangismu terus menganak sungai?"

Weslee memaling. Ia enggan bicara. Rasa sakit dalam hatinya membakar seluruh tubuhnya. Kenyataan pahit yang harus dia terima. Ia merasa telah tertipu dan dikhianati. Apalagi kedua bola matanya menyaksikan secara langsung kekasihnya membakar janji yang selalu dibanggakannya. Weslee meringis perih dan menekan dadanya kuat.

"Jika kau tak mau membaginya tak apa. Aku disini hanya langit gelap," tukas Chris.

Weslee menoleh, "Apa kau pernah mencintai seseorang?"

Christian mengangkat satu alisnya. "Entahlah. Aku tak tahu pasti itu cinta atau bukan," jawab Christian dengan tatapan menerawang mengingat masa lalunya.

Weslee menunduk. Ia kembali menangis. Namun kali ini terdengar isakan tidak seperti tadi yang hanya diam. Weslee meremas jemarinya sendiri. Hatinya begitu perih. Ia mengangkat kepala dan menopangkan dagunya di tangan kirinya yang ditekuk menumpu meja. Tatapannya jauh keluar jedela.

"Aku melihat kekasihku bercinta dengan wanita lain tepat di depan mataku," tukas Weslee dengan air mata yang terus meluruh. "Padahal aku sangat mencintainya. Aku sudah menjalin kasih dengannya selama lima tahun. Tapi apa yang dilakukannya? Dia.. Dia menghianatiku. Aku benci.. aku be-"

"Sshhhtt! Tenanglah! Kau tidak akan mengalami hal itu lagi. Dia pasti akan mendapatkan ganjaran dari perbuatannya," ucap Christian dengan memeluk tubuh ringkih Weslee.

Christian menatap wanita yang tadi datang bersamanya ke kafe ini dengan penuh arti. Dapat, batinnya sambil mengerling pada wanita itu. Sedangkan wanita itu hanya tersenyum simpul dan meletakkan cangkir mochaccinonya.

Count Down [The Rest Of Life]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang