Gadis bersurai cokelat itu masih duduk di kursi besi dengan kaki dan tangan terikat. Mata biru yang biasanya bersinar kini redup dengan dikelilingi warna merah. Kelopak matanya membengkak, membuat bola mata beriris denim itu hanya terlihat segaris. Bekas aliran air mata yang mengering tampak begitu jelas di pipinya. Bibirnya pucat pasi dan bergetar. Di sekujur tubuhnya terdapat garis-garis yang menjalar juga lebam yang merata. Warnanya yang merah keunguan membuat semua orang akan bergidik ngeri saat melihatnya. Bahkan tak sedikit dari luka itu yang mengeluarkan darah.
Di kamar temaram ini, Amanda hanya terdiam. Sesak di dadanya begitu bergemuruh, bahkan rasa sakit di sekujur tubuhnya sampai tidak terasa lagi baginya. Air mata seperti sudah mengering tak mau mengalir. Pikirannya tidak dapat bekerja. Tatapan gadis itu kosong, namun dari sorotnya terbesit luka yang amat dalam.
Jika memang disini takdirku, aku terima, Tuhan! Tapi jika Kau masih memberiku kesempatan, kuatkan aku!, rintih batin Amanda. Gadis berusia 19 tahun itu hancur. Harapan hidupnya sudah ia serahkan pada sang Pencipta. Dia memejamkan matanya, menghirup udara yang masih bisa ia rasakan.
"Tuan, indikatornya menunjuk rumah tua itu. Apa Nona disekap disana?"
"Aku sependapat, Chris. Tuan, bagaimana sekarang?"
Pria yang dipanggil Tuan itu diam tampak berpikir. Ia memegang dagunya serta keningnya mengernyit. Matahari sudah berada di ufuk barat dan tinggal separuh lagi. Di depan rumah tua yang memiliki halaman luas itu diberi penjagaan. Sebenarnya bukan masalah untuknya, tapi semua harus menggunakan strategi.
"Kita serang mereka. Kerahkan pasukan kita, Ed!"
"Baik, Tuan!" pria yang dipanggil Ed itu berbicara pada seseorang melalui wireless earphone yang terpasang di telinganya. Chris terfokus untuk mendapatkan lokasi yang pasti dimana Amanda berada.
Tak terasa, sebulir air kembali menetes melalui pipinya. Seorang pria masuk sambil membawa sepiring makanan dan segelas air putih. Untuk apa dia memberi makan jika menyiksaku seperti ini?, gumam Amanda. Pria itu mendekat dan menarik kursi lalu duduk didepannya.
"Aku tahu kau lapar. Biarkan aku menyuapimu," tukas pria itu sambil mengayunkan sendoknya.
Amanda menutup rapat mulutnya. Tak sudi dia memakan makanan yang berasal dari tangan kotor itu. Amanda menatap lekat pria di hadapannya dengan sorot ketakutan.
"Kau marah?" tanya pria itu.
Amanda diam. Ia benar-benar takut jika pria di depannya ini akan memukulnya seperti yang sudah-sudah.
"Katakanlah sesuatu!" pinta pria itu.
Amanda tetap diam dan memasang wajah penuh takutnya. Ia memperhatikan pria di depannya. Pria itu menghela napas panjang dan berat. Dari kedua matanya bahkan menunjukkan kebingungan. Mungkin dia lelah menghadapi Amanda yang tidak mau bicara sedari tadi.
Kemarin mereka bilang tak akan memberiku makan, tapi kenapa sekarang malah ingin menyuapi?, gumamnya. Terdengar suara langkah kaki mendekat. Pria yang duduk di depannya terlihat panik, lalu segera pergi. Amanda hanya mengernyit heran.
"Hahaha! Sayang sekali. Bos tak mengizinkan kita memperkosanya." Suara seorang pria yang semakin keras.
Amanda melotot. Ia menatap handle pintu yang bergerak. Muncullah tiga pria bertopeng. Mereka tertawa jahat mendekati Amanda. Napas Amanda mulai memburu. Dia amat ketakutan sampai bola matanya bergerak tak tentu.
"Siap, Tuan!" tukas Eduardo.
David mengangguk. "Oke! Jangan lupa, pasang peredam suara! Aku tidak mau yang di dalam dengar lalu menyandera Amanda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Count Down [The Rest Of Life]
Romance#14 in action (01-02/02/2019) Setiap kali mata ini terbuka, semua orang akan berkata betapa indahnya dunia ini. Tuhan menghiasnya dengan hangat sinar mentari di pagi hari menampakkan segala aktivitasnya. Taburan bintang di langit malam dengan se...