Burung-burung yang terbang bebas di udara, itulah yang wanita itu bayangkan saat ini. Andai saja ia bisa meminjam sayap mereka barang sehari saja, tentu kedamaian akan mengalir di setiap ingatannya. Ia tersenyum menatap langit luas yang menjadi atap dunia ini. Duduk di gazebo sederhana dengan ditemani bunga bermekaran sudah cukup untuk menghangatkan hatinya. Ia menunduk melihat perutnya yang sudah sangat besar. Mengelusnya lembut dengan batin yang merapalkan doa untuk calon malaikat di dalam sana.
"Nyonya." Suara khas kepala pelayan itu membuatnya menoleh dan tersenyum. "Ini buahnya," ucap wanita yang usianya lebih dari setengah abad itu.
Ia ucapkan terima kasih dan mulai memasukkan potongan buah melon ke dalam mulutnya. Tiba-tiba sesuatu yang aneh seakan meremas kuat perutnya. "Aarrgghh!"
"Nyonya? Apa Nyonya akan melahirkan?" seru pelayan yang ikut bergabung disana.
"Kau telepon Tuan David, Pricilla!"
Wanita itu mengangguk dan berjalan cepat meninggalkan Nyonya dan kepala pelayan ini. Nyonya mereka terus meringis kesakitan hingga akhirnya dilarikan ke rumah sakit tanpa menunggu sang suami. Mertua cerewetnya juga ada disana untuk menjaga. Tak berselang lama, Mamanya juga datang menemaninya. Ia merasa beruntung ada orang-orang yang selalu menyayanginya.
"Amanda!!" Teriakkan suara bariton membuatnya mengulas senyum. "Sayang, kau baik-baik saja, kan?" seru pria itu yang langsung menggenggam tangannya kuat.
"Aku baik-baik saja, David."
"Kita ceasar saja, ya? Aku takut," pinta David dengan menunjukkan puppy eyesnya. Dengan cepat Amanda menolak. Dia bersikukuh untuk melahirkan normal meski itu harus mempertaruhkan nyawa.
"Sudah pembukaan berapa, Dok?" seru David dengan wajah paraunya.
Dokter yang pernah menangani Amanda tersenyum. "Baru pembukaan tiga, Tuan. Tenang saja," serunya menghasilkan helaan napas lega dari David.
Pria itu terus duduk di samping istrinya yang merintih dan sesekali berteriak. Untuk menyembunyikan kekhawatiran dia mengulas senyum dan membelai lembut rambut panjang istrinya. Wanita itu menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan. Tentu rasa sakit yang menyerang membuat wanitanya sulit untuk mengungkapkan maksud hati.
"David.." lirih Amanda. "Jika aku mati nan-"
"Sshhtt! Kamu pasti bisa," ucap David lembut menciptakan buliran air yang meluruh melewati sudut mata Amanda.
Wanita itu mengangguk dan tersenyum. Beberapa jam telah berlalu hingga dapat ia sadari jika mentari tengah berjalan menuju peraduannya. Keringat dingin sudah membanjiri beserta rasa sakit dan mulas bercampur aduk menjadi satu dalam raganya.
"Aaarrgghh!! Dok! Aku tak kuat lagi!" teriaknya.
Suami yang setia di sampingnya menoleh pada dokter yang memang sudah bersiap. Dokter itu menggeleng dan mengatakan jika belum waktunya. Nyonya Luther masih dalam pembukaan enam. Air mata yang terus mengalir memiris hati pria itu.
Dia berbisik, "Kita caesar saja, ya?"
"Tidak!!" pekiknya kencang.
David tak bisa berkutik. Ia hanya bisa merapalkan doa sebanyak-banyaknya untuk sang istri dan calon bayinya. Jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Sepertinya sudah waktunya. Terlihat Dokter Anna yang memerintahkan para asistennya. Dokter Kevin juga ikut memantau disana. Bukan tak berguna, karena memang dada kanan Amanda yang sudah membengkak.
"Aaarrgghhh!" Teriakkan Amanda kembali melolos.
"Tarik napas dalam.. Mengejan!" perintah asisten Dokter Anna dan diikuti oleh Amanda. Beberapa kali ia mengejan. Terdengar suara bayi menangis mengisyaratkan jika perjuangan Amanda berhasil. Semua orang ikut menangis haru terlebih orang tua si bayi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Count Down [The Rest Of Life]
Romance#14 in action (01-02/02/2019) Setiap kali mata ini terbuka, semua orang akan berkata betapa indahnya dunia ini. Tuhan menghiasnya dengan hangat sinar mentari di pagi hari menampakkan segala aktivitasnya. Taburan bintang di langit malam dengan se...