"Apakah ini yang mereka katakan? Mencintai seseorang adalah bahagia melihatnya bahagia, meski bukan dengan kita."
Camellia Angela Benedict
🌻🌻🌻🌻🌻
Seorang gadis berambut pirang bermata biru itu tengah duduk sendiri di bangku pojok cafe ini. Suasananya tidak begitu ramai meski sekarang terbilang weekend. Ia menikmati cokelat panas sambil membaca novel dengan kacamata baca yang bertengger di batang hidungnya. Sesekali ia menyesap cokelat panasnya dengan memejamkan mata. Menikmati setiap partikel yang menjamah syaraf pengecapnya.
"Nona. Ini pesanan Anda."
"Terima kasih," ucapnya lembut disertai senyuman kepada pelayan.
Ia juga memesan beberapa cookies untuk menjadi camilan. Ia hendak kembali pada novelnya, tetapi terpotong dengan pemandangan yang membuat hatinya sakit. Amat sakit. Setetes air lolos dari pelupuk matanya. Ia menyeka dengan cepat. Disusul dengan senyum terkembang di bibirnya. Bukan senyum yang dibuat-buat. Itu adalah senyum yang amat tulus.
"Jadi benar yang dikatakan Albert," gumannya pada diri sendiri.
Di seberang sana, terlihat sepasang insan tengah duduk dan memanggil pelayan untuk memesan. Tidak ada canda seperti sepasang kekasih pada umumnya. Mereka telihat cuek satu sama lain. Si gadis asyik bermain dengan handphonenya sedang si pria memainkan jari-jarinya di atas meja sambil menoleh keluar jendela.
"Kau ini. Minta ditraktir makan, tapi asyik dengan duniamu sendiri." Si pria membuka suara.
"Makan ya makan. Tidak ada hubungannya dengan itu. Mengganggu saja," balas si gadis masih dengan handphonenya.
"Okay. Bayar sendiri." Pernyataan itu sukses membuat si gadis memelototkan mata.
"Wait! Wait! Okay, aku tidak bermain handphone lagi. Lihat! Aku letakkan."
Pria itu hanya mengangkat satu alisnya. Ia kembali menoleh keluar jendela. Terlihat ramai lalu lalang kendaraan di jalanan dan orang berjalan di trotoar. Gadis itu pun ikut menoleh ke jendela. Banyak sekali muda-mudi yang berjalan bergandengan. Tampak sangat mesra.
"Kau melarangku bermain handphone. Tapi kau juga mengacuhkanku," tukas gadis itu dengan tatapan tetap pada jalanan.
"Kau tidak terima?" Pria itu tampak santai menyandarkan punggungnya di bangku cafe. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada sambil menatap lekat ke arah si gadis.
"Tentu saja," jawab si gadis menatap lekat pria di depannya.
"Oh sudahlah, Amanda. Aku lelah berdebat denganmu," jawab pria itu.
"Kau pikir hanya kau saja? Aku lebih lelah. Seharusnya aku menghabiskan weekendku dengan Andrew. Bukan dengan kau."
"Andrew keluar kota. Sudahlah terima saja. Adanya aku, ya aku."
"Iya, iya."
"Kenapa kau lebih suka mengobrol dengan Andrew dibandingkan denganku?" tanya pria itu polos.
"Hello! David! Kau itu membosankan. Tidak seperti Andrew. Andrew selalu saja punya bahan pembicaraan. Kau? Aku seperti di dalam kuburan jika keluar denganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Count Down [The Rest Of Life]
Romance#14 in action (01-02/02/2019) Setiap kali mata ini terbuka, semua orang akan berkata betapa indahnya dunia ini. Tuhan menghiasnya dengan hangat sinar mentari di pagi hari menampakkan segala aktivitasnya. Taburan bintang di langit malam dengan se...