PART 48

134 11 0
                                    

    Sinar matahari siang ini tak begitu menyengat. Saat menerpa kulit, terasa hangat. Sehangat suasana dua manusia yang tengah menikmati menu mereka. Mereka tampak serasi, si gadis mengenakan kaos panjang berwarna kuning kunyit dan dilapisi jeans jacket berwarna hijau army. Sedangkan sang pria mengenakan kemeja berwarna kuning lemon dan juga balutan boomber jacket berwarna sama dengan gadis itu.

"Aku senang bisa keluar rumah menghirup udara segar, Andrew," tukas gadis itu sembari menyendok chicken blackpeppernya.

Pria itu terkekeh. "Ya.. Aku bisa bayangkan ada di posisimu, Amanda."

"Andrew. Setelah ini kita akan kemana?" tanyanya penuh harap.

Andrew menghela napas. "Maaf, Amanda. Aku harus kembali ke kantor," ucapnya penuh sesal.

Amanda mengalihkan tatapannya dari pria yang ada di depannya. Bibirnya sedikit mengerucut tanda kesal sedang melandanya. Andrew membelai punggung tangannya begitu lembut.

"Sayang. Aku janji besok mengajakmu makan siang dan jalan-jalan kemanapun kamu mau, okey?"

Amanda menoleh dengan mata berbinar. "Benarkah?"

Andrew mengangguk disertai senyum. Amanda tersenyum senang dan memakan chicken blackpeppernya begitu lahap. Andrew menggeleng geli melihat tingkah Amanda yang seperti anak kecil.

"Daahh!"

"Daaahh! Jangan lupa besok, Andrew! Kau sudah berjanji," tukas Amanda mengingatkan.

Andrew mengangguk mantap dan masuk ke dalam mobil melesat pergi dari Williams mansion. Amanda tersenyum senang. Ia berjalan dengan sedikit berjingkrak.

Entah sudah gelas ke berapa yang ia teguk. Pria ini menyempatkan diri untuk pulang ke rumah saat jam makan siang. Sebenarnya tadi dia sudah sampai pada sebuah restoran bersama sekretarisnya. Namun pemandangan yang ditangkap manik mata cokelatnya membuat napsu makan itu hilang seketika. Ia memilih untuk pulang dan berakhir disini. Ya, minuman beralkohol yang ada di mini bar salah satu fasilitas dalam mansionnya ini sedang menemani kesendiriannya. Tak ada yang mengerti dirinya lebih baik dari dirinya sendiri. Setiap kali melihat wajah gadis itu, hatinya seperti diremas-remas.

"Tuan. 15 menit lagi akan ada kunjungan dari sekolah swasta yang sudah mengajukan proposalnya satu bulan yang lalu. Anda pasti akan datang, kan?" tanya sekretarisnya memastikan di ambang pintu.

Pria itu tetap diam tak menjawab. Ia kembali menuangkan minuman yang dapat merusak raganya lalu meneguknya cepat sambil sedikit meringis karena rasa pahit pada minuman itu.

"Tuan?"

Pria itu tetap diam.

"Bersihkan bau alkohol itu dan kita akan berangkat setelahnya!" titah sekretaris yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.

Pria itu menyudahi minumnya. Pikirannya melayang pada apa yang dilihatnya di restoran. Gadis yang amat dia sayangi tengah menghabiskan waktu dengan kakaknya sendiri.

"Lupakan semua itu, Tuan! Bukankah Anda sudah menyuruhnya pergi sebelum kecelakaan itu?" ucap Eduardo kesal.

Tuannya tetap diam.

"Apa Anda menyesalinya sekarang?" tanya Eduardo lagi.

Pria itu menoleh. "Tidak, Ed. Hanya saja.."

Eduardo menghela napas lelah. Percuma saja berdebat dengan tuannya itu. Pemilik Luther Property itu memang dalam masa pengobatan dengan psikolog, Natalie Anderson. Emosinya selalu berubah-ubah sejak mendapatkan kembali ingatannya. Mungkin jauh di lubuk hatinya, dalam alam bawah sadarnya, Anthonio Luther Davidove itu tak sanggup menerima kenyataan ini.

Count Down [The Rest Of Life]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang