PART 14

189 18 0
                                    

Teriakan, bentakkan, suara benda yang hancur, suara tamparan sudah menjadi makanan sehari-hari anak lelaki ini. Dia muak dengan semua ini. Dia ingin menjadi anak normal seperti teman-temannya. Apa tidak bisa dia melihat kedua orang tuanya akur? Jika tidak ada suara-suara seperti itu, berarti orang tuanya tidak di rumah. Hari demi hari ia lalui dengan penuh kebencian. Hanya bersama teman-teman dia merasa beban hidupnya sedikit berkurang.

"Kenapa kau seperti ini, Pa?! Apa kurangnya aku?!"

"Sudahlah! Jangan ikut campur! Yang penting aku memberimu uang!"

"Bukan itu yang aku inginkan, Pa! Aku mau Papa tinggalkan jalang itu!"

"Jangan sebut dia jalang!"

Ya, pertengkaran yang selalu menemaninya di rumah. Dia menatap layar ponselnya. Mungkin saja ada pesan dari teman-teman tersayang untuk menjadi alasan pergi dari neraka ini. Sudah jam sembilan malam, tidak mungkin teman-temannya mengajak keluar. Besok, mungkin, harapnya.

"Pa, Ma! Felix keluar dulu."

Ucapan Felix menghentikan pertengkaran hebat sepasang suami-istri itu. Mereka mengernyitkan dahi menatap punggung putra semata wayangnya. Mereka baru tersadar. Ini sudah malam.

"Felix! Mau kemana? Ini sudah malam, Nak."

Siapa juga yang bilang pagi?, batin Felix seraya masuk ke dalam mobilnya. Entah dia akan kemana. Jika main ke rumah teman-temannya, sungguh tidak sopan sudah jam segini. Kalau menginap di rumah Gherald, dia sudah sering melakukannya. Apalagi bunda Gherald yang sangat baik bak malaikat itu membuatnya merasa tidak enak. Entah bisikan darimana, Felix menghentikan mobilnya di depan club.

"Mungkin sedikit anggur tanpa alkohol akan menenangkan," ucapnya pada diri sendiri.

Kaki itu melangkah pasti memasuki club. Jujur, ini pertama kalinya Felix masuk ke dalam club. Mereka memang dari keluarga yang terbilang, highclass. Tapi clubbing bukanlah budaya yang diajarkan keluarga mereka. Mungkin rasa frustrasi yang mendorong Felix memijakkan kakinya di tempat ini.

Dentuman musik DJ memekakkan telinganya. Ia duduk di kursi bartender dan memesan segelas anggur tanpa alkohol. Ia menyesapnya dan sesekali melihat ke arah kerumunan orang di dance floor. Mereka tampak asyik menggerakkan badan mengikuti dentuman musik. Pakaian yang wanita-wanita itu kenakan sangat minim. Meski masih ada beberapa yang berpakaian normal, sih.

Seorang gadis duduk tepat di kursi sebelahnya. Oh Tuhan! Jauhkan aku dari jalang-jalang seperti ini! Felix menatap wanita itu yang seolah merayunya. Masih muda, mungkin usianya awal duapuluan. Felix mengabaikan wanita tadi. Wanita itu menyeringai.

"Satu gelas red wine, please!" ucap wanita itu pada bartender. Felix menatapnya. Mungkin wanita ini sudah menjadi penghuni tetap club ini. Wanita itu melihat Felix lekat seakan ingin menerkamnya.

"Sepertinya kau baru." Felix bergeming. Ia fokus pada anggurnya.

"Kau sedang ada masalah? Berapa usiamu?" Felix tetap diam.

"Okey, jika kau tidak mau diganggu. Tapi minuman tanpa alkohol tidak akan menenangkanmu. Cobalah yang sedikit beralkohol."

Wanita itu pergi setelah menghabiskan segelas winenya. Felix tampak meresapi setiap perkataan wanita itu. Mungkin sedikit saja bolehlah. Felix akhirnya memesan anggur dengan kandungan sedikit alkohol. Wanita itu menyeringai melihat Felix dari kejauhan.

Pikiran Felix mulai melayang. Ia bahkan memesan wine yang kadar alkoholnya lebih tinggi. Karena tidak pernah dengan minuman seperti itu, satu gelas cukup memabukkannya. Pikirannya sudah tidak dapat dikendalikan. Suaranya juga sudah parau. Ia keluar dari club dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tak tentu. Dia tidak tahu kemana tujuannya. Yang terpenting dia melajukan mobilnya.

Count Down [The Rest Of Life]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang