PART 38

151 10 0
                                    

    Lima gadis berparas cantik itu duduk mengitari sebuah meja di salah satu kafe kenamaan di Canberra. Entah sejak kapan mereka menjadi akrab. Tapi bukankah itu malah bagus. Satu-satunya yang berambut cokelat itu melambaikan tangan memanggil waiter. Mereka memesan banyak makanan dan minuman, sampai waiter itu kewalahan. Tentu saja! Tadi bilang pesan ini sekarang ganti itu. Setelah semuanya puas memesan, waiter itu tersenyum dan melenggang pergi.

"Eh, Kak! Tambah choco vanilla ice cream yang jumbo satu, ya!" tukas gadis bersurai pirang bermata biru kehijauan itu.

Ya, kan? Urusan makanan, gadis-gadis muda ini memang nomor satu. Waiter itu tersenyum kikuk dan mengangguk. Mereka mulai membuka percakapan sembari menunggu pesanan datang. Dari tadi memang sudah ricuh, sampai seluruh pengunjung menatap mereka heran.

"So, Amanda. Tell us about your holiday!" ucap Beby antusias.

Amanda tersipu malu. Haruskah? Liburan itu akan selalu disimpan dalam memorinya. Keempat gadis bersurai pirang itu semakin penasaran. Mereka menatap Amanda begitu serius.

"Ya.. kita berenang di pantai. Apalagi memangnya?" ucap Amanda.

"Aahh! Serious, please!" ucap Julia gemas.

"Katakan yang sebenarnya, Amanda! Atau aku akan menghabiskan cumi asam manismu!" Irish mengancam sembari memelototi Amanda.

Amanda meneguk salivanya mendapat respons luar biasa itu. Memang teman-temannya sudah penasaran sejak Amanda pulang. Dan sekarang mereka baru bisa berkumpul. Amanda mengedarkan pandangannya melihat satu persatu wajah teman-temannya. Mereka sama --menunjukkan wajah horror untuknya. Dia menarik napas dalam dan membuangnya lewat mulut.

"Baiklah. Aku akan bercerita." Mereka memajukan kepala untuk mendengar semua penuturan Amanda. "Disana pantainya indah sekali. Villa milik Daddy Richard tepat di samping pantai. Kami disana berenang, snorkeling, dan makan. La-"

"What about barbeque party?" potong Stephanie.

Amanda mengangguk. "Ya. Kita mengadakan itu."

"Lalu dengan insiden tanganmu terkena alat panggang itu?" tanya Irish dengan kening mengkerut.

Amanda hanya tersenyum malu. Mereka mengernyit serempak dan saling melempar tatapan, lalu menatap Amanda lekat.

"C'mon, Amanda! Jangan membuat kami penasaran!" Beby benar-benar tidak sabar.

"Sebelum itu.. aku, Andrew, dan David berlomba adu cepat mandi. David bilang yang kalah harus mentraktir gurita bakar. Kita semua setuju dan David sendiri yang kalah. Jadi, yang memanggang gurita David. Dia meninggalkan guritanya untuk mengambil butter. Jadi aku yang menggantikannya, takut gosong," Amanda berhenti sejenak untuk melihat ekspresi teman-temannya, "Sudah," sambungnya.

"Amanda!!" pekik mereka serempak.

Amanda terkekeh geli. "Nah.. saat dia kembali, dia ingin mengambil alih lagi. Tapi aku tidak sadar saat dia sudah ada di sampingku dan menarik alat capit yang kupegang. Aku kaget dan reflek menarik tanganku. Dan ya, mendaratlah pada alat panggang. Semuanya panik. Tapi David langsung menggendongku menuju dapur."

"Oohh. So sweet," ucap Beby dan Julia bebarengan.

"Lalu dia mendudukkanku di pinggiran wastafel dan mengoleskan garam dapur ditanganku. Kalian tahu rasanya? Aku mati-matian tidak menjerit sampai mataku berair. Dia meminta maaf padaku. Ya, aku hanya tersenyum padanya."

"Lalu?" tanya Stephanie dengan senyum menggoda.

Mata Amanda membulat. "Lalu?"

"Lalu apa yang terjadi?" sahut Beby semakin penasaran.

Count Down [The Rest Of Life]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang