PART 20

201 14 0
                                    

    Gadis berambut pirang itu naik turun membawa barang. Lelaki bermata biru itu pun ikut membantunya. Sedang orang tua si gadis juga sibuk mengecek barang yang akan dibawa putrinya. Bahkan di tangan wanita paruh baya itu ada selembar kertas checklist. Mereka ingin semuanya beres. Tak ada telepon barang penting yang ketinggalan.

"Mami! Teddy bear aku yang dari Gherald sudah masuk koper, kan?"

"Lah! Kenapa tanya Mami?"

"Sudah, sweety. Kamu sendiri yang memasukkannya."

"Oh ya?" Gadis itu terkekeh.

"Nak Gherald! Tolong ambilkan bantal itu!" Pria paruh baya menunjuk sebuah bantal berbentuk bunga matahari yang terlihat sudah lusuh di samping Gherald.

"Ini, Pi?"

"Yup! Stephanie tidak akan bisa tidur tanpa ini. Meski sudah sangat buluk."

"Papi! Jangan membuka aibku!" teriak gadis bernama Stephanie yang turun dari lantai atas. Gherald terkekeh mendengarnya. Semua barang sudah masuk ke dalam koper. Hari ini, Stephanie akan berangkat ke Amerika Serikat untuk melanjutkan pendidikannya. Di sana dia akan tinggal di rumah tantenya. Jadi orang tua Stephanie tak perlu khawatir.

"Gherald, sudah menghubungi Amanda? Ini jam tujuh pagi. Nanti jam 11 pesawat sudah take off."

"Sudah. Tapi tidak ada balasan. Lagipula masih nanti, kan."

"Iya juga, sih."

Setelah semua beres, Stephanie dan Gherald pergi keluar untuk mencari sarapan. Biasanya Stephanie akan membeli pancake kesukaannya. Mobil melaju santai. Stephanie diam menatap keluar jendela yang sengaja dibuka. Dagunya tertopang dengan telapak tangannya.

"Stephanie?"

Stephanie menoleh ke sumber suara. Gherald tengah menatapnya lalu kembali pada kemudi. Pagi ini jalanan lumayan ramai. Anak-anak berangkat sekolah maupun orang pergi ke kantor tumpah memenuhi jalan.

"Kamu terlihat sedih. Kenapa?"

"Banyak alasannya," jawab Stephanie singkat. Ia kembali memalingkan wajahnya. Gherald menghela napas.

"Bisa disebutkan?"

"Hehem. Pertama, kita akan jarang bertemu. Kedua, aku mengkhawatirkan Amanda. Apa Amanda akan baik-baik saja?"

Tiba-tiba Stephanie terisak. Kedua tangannya menutup wajahnya. Pundaknya bergetar. Sepertinya sudah ditahan sejak tadi. Mobil berhenti karena lampu merah. Gherald mencoba menenangkan Stephanie. Memaksa Stephanie menurunkan tangan yang menutupi wajahnya.

"Hey! Liburan semester depan aku akan mengunjungimu."

Stephanie menganggukkan kepala. Ia masih terisak. Gherald memeluk Stephanie dan mengelus punggungnya lembut. Stephanie yang biasanya terlihat tegar, sebenarnya begitu menderita. Ia sangat menyayangi Amanda seperti saudaranya sendiri.

"Gherald."

"Iya?"

"Amanda akan baik-baik saja, kan?"

Gherald menguraikan pelukannya. Ia menangkup kedua pipi Stephanie dengan tangan kekarnya. Ibu jarinya terayun menghapus sisa butiran air di sudut mata Stephanie. Gherald mendekatkan wajahnya. Stephanie menutup matanya. Deru napas mereka begitu terasa. Benda kenyal basah itu menempel dan melumat lembut bibir Stephanie. Mereka saling berpagut sampai suara klakson terdengar menggema. Mereka terkekeh dan melepas pagutannya.

Stephanie sudah sampai di bandara. Ia duduk di kursi yang berjajar rapi. Papi, Mami, dan juga Gherald setia menemani. Sesekali ia melirik jam tangan yang melingkar cantik di pergelangan tangannya. Berkali-kali ia mengedarkan pandangan, berharap seseorang akan datang sebelum ia meninggalkan bumi Oceania ini.

Count Down [The Rest Of Life]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang