PART 23

164 14 0
                                    

"Sinarnya pudar ditelan keegoisan. Tawanya t'lah hilang direnggut kebengisan. Hatinya luluh lantak terkoyak denting waktu. Bayangnya berdiri di tengah ketidakpastian."

Aldiana Nazilul Haq

🎈🎈🎈🎈🎈

Seorang gadis berambut pirang bermata hijau itu turun dari mobil dan melambaikan tangan dengan tersenyum. Mobil itu pun melaju meninggalkan dirinya. Belum sempat ia melangkahkan kaki, sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Ia tersenyum ketika tahu siapa yang turun dari sana.

"Peter!"

"Oh, Julia."

Julia tersenyum manis pada Peter. Peter Brentford, putra tunggal pemilik perusahaan otomotif terbesar seOceania itu juga membalas senyuman Julia dengan sangat manis, membuat Julia semakin tergila-gila padanya. Julia menoleh pada pengemudi mobil. Ia membulatkan mata dengan tersenyum lebar.

"Kak Harry! Aku sudah lama tidak bertemu denganmu," tukas Julia senang.

Pria bernama Harry Reeves itu hanya tersenyum lalu melajukan mobilnya. Harry adalah orang kepercayaan ayah Peter. Bahkan sudah seperti sosok kakak bagi Peter. Usia mereka terpaut delapan tahun. Peter sendiri berusia 20 tahun sekarang.

Mereka berjalan beriringan memasuki gedung kampus. Kebetulan mata kuliah mereka berada di gedung yang sama. Senyum yang sedari tadi mengembang di bibir Julia kini menyurut dan menghilang, lantaran Peter meninggalkannya dan berlari menemui seorang gadis di ujung sana. Julia mencebik dan menghentakkan kaki kesal. Dia sampai tak sadar ada seseorang berdiri di sampingnya.

"Apa yang kau lihat?" ucap gadis itu mengikuti arah tatapan Julia.

Julia menoleh. Mengetahui Irish yang ada disampingnya malah membuatnya ingin meluapkan kekesalannya. Ia mengerucutkan bibir dengan mata memelas. Irish mengangkat sudut bibirnya, merasa jijik dengan ekspresi Julia.

"Peter bahkan meninggalkanku, Irish!"

"Biarkan saja!" jawab Irish santai.

Mata Julia membulat. "Apa kau bilang?" Ia berlari kecil mengejar Irish yang berjalan meninggalkannya. Sikap Irish yang selalu cuek membuatnya bertambah kesal.

"Amanda!"

Amanda menoleh. "Oh, Peter. Ada apa?" tanya Amanda menatap lelaki yang tersenyum lebar di depannya dengan tatapan datar.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Hey! Jangan ganggu princessku!"

Mereka berdua menoleh bersamaan melihat pemilik suara bariton tersebut. Kalau dipikir, Amanda sudah sangat familier dengan suara itu. Apalagi dengan sebutan princess untuknya. Siapa lagi kalau bukan Albert. Albert mendekat pada mereka. Pemuda tampan itu mengenakan celana jeans dan kaos hitam, ditambah jaket merah membuatnya tampak mempesona. Tapi itu tidak berlaku untuk Amanda. Gadis itu malah memalingkan wajahnya. Ia bosan bertemu dengan manusia satu ini yang selalu berulah.

"Sejak kapan dia jadi princessmu?" Peter bertanya dengan kening mengkerut.

"Ct! Kau tidak akan tahu! Jangan ganggu dia!" sarkas Albert, lalu pandangannya beralih pada Amanda. "Kau sudah sarapan, princess?"

Amanda diam dan melenggang pergi. Mulut Albert menganga menatap punggung gadis itu lalu menutup mulutnya sambil mencebik. Pandangannya beralih pada sosok Peter yang ada di sampingnya dengan ekspresi yang... mengejek. Pundak Peter bergetar menahan tawanya, bahkan bibirnya membentuk satu garis dengan mata penuh arti.

Count Down [The Rest Of Life]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang