[Author]
"Tau tidak? Dengar-dengar Jimin ditinggal keluarganya. Dia anak pembawa sial sih jadinya seperti itu."
"Kuliah disini saja tidak pernah fokus."
"Dia selalu jadi bahan pembully-an kan."
Jimin hanya menarik nafasnya saja dan melihat ke arah jendela. Sebenarnya ia menunggu temannya datang tapi belum juga ada yang datang. "Hey Park Jimin! Buat apa kau kuliah disini? Mana orang tua aslimu?" Jimin hanya diam saja dan tidak menjawab pertanyaan orang itu."Jawab sialan!" Orang tersebut pun meninju pipi Jimin. "Kau tak pantas kuliah disini! Buat apa kau disini? Dasar anak sialan! Pantas saja tak punya teman. Urusi dulu sana sikapmu!"
' Dan kau tak tau rasa sakit menjadi diriku. '
.
.
."Jimin, kau mau makan apa?" Tanya Sungwoon. "Apa saja yang penting makan." Dan akhirnya mereka pun memutuskan memilih kari. Jimin pun membawa makanannya sendiri.
Prangg
"Ups! Maaf tidak sengaja~ Mungkin memang kau tak pantas untuk makan."
"Yak ! Apa maumu? Lawan kami!"
"Taemin sudah lah. Aku bisa beli lagi nanti." Lirih Jimin untuk menenangkan Taemin. ' Astaga aku lupa. Aku hanya membawa uang sedikit.. ' Batin Jimin. Mereka semua pun pergi mencari tempat duduk untuk makan mereka. "Kau tak jadi membeli makan?"
"Aku tidak nafsu, Jongin."
.
.
.Park Jimin orang bodoh!
Tak punya keluarga karena anak sial.
Tulisan yang tertera di bukunya. Jimin pun langsung menyobeki kertas tersebut dan meremasnya.
Puk!
"Park! Turunkan kepalamu!"
"Hey jangan lempar kertas bodoh!
"Ada apa ini!? Jangan berisik!"
"Jongin, biarkan saja.." Bisik Jimin. "Ini namanya pembully-an, Jim. Kau pernah di bully dulu bukan? Kau mau di bully lagi?" Jelas Jongin. Jimin pun hanya menghela nafasnya.
"Ini memang hidupku. Jika sudah begini ya akan terus seperti ini."
Cklek
"Noona." Yeoja tersebut pun menoleh mendapati kedatangan seseorang. "Park Jimin nde ? Tepat waktu, pemilik kafe ini juga baru datang." Jimin pun tersenyum. "Kau dipukuli? Setiap datang pasti ada luka." Jimin pun terkekeh. "Sudah biasa, noona."
"Duduk disini dulu, nde." Jimin pun mengangguk. Ia pun duduk dan menunggu datangnya pemilik kafe ini. "Jimin? Kau Park Jimin bukan?" Jimin pun terkejut melihat datangnya orang tersebut. "S–Seokjin-hyung ?" Jimin pun langsung menggigit bibir bawahnya. Ia takut sekali padanya entah mengapa.
"Kau mau bekerja disini? Atau mau membuat kafe-ku rusak?" Jimin menggeleng kepalanya. "A–Aku mau kerja disini, hyung.."
"Aku bukan hyung-mu dan kau bukan adikku. Kita bukan keluarga."
Bolehkah Jimin berharap lebih kali ini?
"Seokjin-sunbae, bolehkah aku bekerja disini? Perihal jadwal aku hanya bisa hari Rabu hingga Minggu." Cicit Jimin. Seokjin pun berpikir sejenak. "Kita lihat dulu hari pertamamu. Kau kuliah bukan? Kau kerja saat sore hingga malam?" Jimin mengangguk. Ia memang bisa kerja di saat itu kecuali Senin dan Selasa.
"Baiklah. Besok kau mulai bekerja."
"Jinjja ? Gomawo hyu– sunbae.." Hampir saja ia mengatakan hyung. Jimin pun tersenyum kemudian pergi dari kafe tersebut. "Tidak bolehkah aku menganggapmu hyung-ku?" Jimin pun langsung pergi ke rumahnya.
Cklek
"Jimin sudah pulang?" Jimin pun terkejut dengan adanya Hoseok dan Taehyung di rumahnya. "Hyung ? Tae? Sedang apa di sini? Nanti di–"
"Diamlah. Aku dan Taehyung mulai tinggal disini. Tidak ada tapi-tapian." Jimin ingin sekali banyak bertanya tapi lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkan satu kalimat. "Pipimu mengapa memar? Dan.. mengapa kau sedikit pucat? Kau sudah makan?" Jimin menggeleng kepalanya.
"Aku belum makan dari pagi tadi hyung."
"Neo pabboya. Mengapa tidak makan? Hyung khawatir. Makan ini." Jimin pun tersenyum kecil. Ia pun mengambil piring dan lauk untuk ia makan.
' Ini saja sudah cukup, tuhan. Terima kasih. '
🌴 to be continued
Maafkan author selalu menyiksa Jimin 😭
APAPUN YANG TERJADI, JANGAN MENYERAH! ADA KEJUTAN DIBALIK SEMUA INI DAN AMBIL SISI POSITIFNYA SAJA!
TRUST ME!
KAMU SEDANG MEMBACA
tell me you love me | park jimin
Fiksi Penggemar[ 박 지민 ] JANGAN DITIRU! [REVISI] JIMIN x BTS Park Jimin. Bocah yang sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang dalam hidupnya. Itu juga dimulai saat ia berada di panti asuhan. Ia memilih untuk membunuh dirinya daripada menanggung semuanya sendi...