Kita adalah golongan orang beruntung!
Seribu tahun lalu kita diberi cobaan oleh Tuhan berupa air bah dahsyat dengan segala kemurkaan di dalamnya. Para leluhur yang berhasil bertahan merajut kehidupan di atas pohon gagah bernama Azera-yaitu negeri yang kita naungi sampai detik ini dan buah aze sebagai hasil dari pohon Azera adalah lambang dari anugerah Tuhan!
Sungguh kita adalah golongan orang beruntung!
Kira-kira begitu isi ceramah Lyra yang terdengar menggebu-gebu di liang telinga seorang anak perempuan. Anak itu memandang jengah tingkah ibunya, memainkan kesepuluh jemari di depan dada, mengerucutkan bibir seraya berdoa semoga ibunya berhenti mengatakan bualan 'kita golongan orang yang beruntung'.
Sungguh! Kita golongan orang terkurung! batin anak itu di dalam hati.
Tak lama setelahnya terdengar suara daun pintu bergeser, menampilkan seorang pria paruh baya dengan sekantong penuh buah aze tersimpan dalam wadah ayaman. "Ayah pulang, Macica!"
Anak itu membantu ayahnya yang tergopoh-gopoh membawa kantong dua kali lipat lebih besar dari ukuran tubuhnya. Untuk memastikan rasa penasaran, tangan Macica merogoh lebih dalam isi kantong-barangkali ada barang temuan unik yang dia idam-idamkan. Namun nihil, itu hanyalah sekantong penuh buah aze hijau kekuning-kuningan.
Mata bulat Macica tak bisa lepas dari potongan buah aze yang tengah dikupas telaten oleh ibunya. Mulutnya membentuk lingkaran mungil tanda dia ingin segera menyantap buah yang biasa dipetik dua bulan sekali.
"Macica, bagaimana sekolahmu tadi?" tanya Tuan Krosktan--ayahnya.
Tanpa mengalihkan pandang dari buah hijau kekuning-kuningan itu Macica menjawab, "Seperti biasa, guru menjelaskan tentang sejarah Azera dan selalu melarang keinginan murid-murid pergi ke luar Azera--bahkan tadi Ibu mengulangi sejarahnya lagi!"
"Macica! Kau terlampau penasaran pada hal yang membahayakanmu," tegas Lyra. Wanita itu selesai menguliti buah, lalu memberikannya pada Macica kecil.
Tuan Krosktan mengelus lembut surai hitam legam Macica. "Tak apa Lyra, suatu hari nanti Macica akan meneruskan keinginanku."
"Itu berbahaya! Berhentilah mengoceh hal itu pada Macica. Aku memaklumi tingkahmu yang menentang sejarah negeri Azera, namun jangan libatkan Macica."
"Lyra, kita sudah bebas sejak lahir dan itu keyakinanku." Dengan melebarkan kedua tangannya Tuan Krosktan melanjutkan. "Maka dari itu aku telah menciptakan sebuah benda yang dapat mengapung di atas air untuk membuktikan pemikiran yang menurutmu konyol. Voila, kapal!"
Lyra sontak berhenti mengupas buah aze. Dia menatap lamat-lamat pisau kayu yang mulai bergerigi kasar. Butuh waktu lama bagi Lyra untuk merespons hasil karya suaminya ... lebih tepatnya sangat lama sampai-sampai Macica memanggil ibunya itu berulang kali. Karena tak segera digubris, Tuan Krosktan pun turun tangan mengusap lembut bahu istrinya yang bergetar.
"Dunia luar itu luas, lho," lirih Lyra tanpa berniat melirik Tuan Krosktan. "Tidakkah kau berpikir ada bahaya apa saja di luar sana? Tidakkah kau bersyukur Azera sudah cukup nyaman untuk kita tinggali?"
"Kau tahu aku penasaran sekali dengan dunia luar," balas Tuan Krosktan enteng sembari menyunggingkan senyuman kecil.
"Alasanmu hanya karena penasaran?! Apa kau tidak melihat ke luar seberapa luas samudra yang mengelilingi Azera? Apa kau lupa bahwa hanya ada pohon Azera--satu-satunya kehidupan--yang bertahan?"
Macica urung memakan buah yang ada di genggamannya. Dia terlampau ragu untuk bersikap biasa sementara ibunya menggenggam erat kedua tangan Tuan Krosktan sambil meneteskan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDER WATER
Fantasy[Pemenang Wattys 2021 Kategori Fantasi dan Dunia Paling Atraktif] Ketika dunia telah lenyap bersama sejarah jauh tertimbun berselimutkan perairan tanpa ujung, maka pohon Azera memberi secerca harapan untuk bertahan. Manusia yang tersisa mulai memban...