46. Jean Walski

1.5K 457 67
                                        

Sudah sangat lama aku mengenal hangatnya telapak tangan Jean saat kugenggam. Kali pertama aku menggenggam tangannya ialah saat aku selamat dari tragedi Azera. Waktu itu aku baru saja ditimpa kemalangan, sisa-sisa kemalangannya menempel di seluruh tubuh yang terguyur asinnya air laut dan mulai mendingin saat aku berusaha menangkup tubuh yang gemetaran.

Tentu juluran tangan Jean yang kering dan hangat adalah sebuah godaan untukku. Tanpa banyak bicara aku mengaitkan tanganku ke hangatnya telapak tangan Jean. Lalu air mataku mulai menggenang dan menyungai di kedua pipi. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk memproses apa yang telah terjadi.

Kali kedua aku menyematkan jemariku ke jemarinya adalah saat aku dirundung oleh beberapa anak nakal yang suka merendahkanku. Katanya aku anak dengan Ayah yang gila menjelajahi dunia luar, sekarang tak temu kabarnya dan kehilangan seorang Ibu di usia belia, dan Kakek yang menyimpang dari sejarah Azera.

Itu adalah kali pertama aku mendengar perkataan kejam yang tak berdasar dari mulut bocah-bocah sebaya. Aku yang hampir menangis dikagetkan oleh suara sentakan Jean. Hanya berbekal suara sentakan anak-anak badung itu lari terbirit-birit, meninggalkan aku yang berderai air mata. Lalu Jean menggenggam kedua tanganku dan menatap wajah jelekku yang berusaha menahan deraian air mata. Ia hanya tersenyum. Tanpa mengucapkan sepatah kata.

Setelah itu kami berdua sudah jarang menggenggam tangan sebab aku tidak lagi berderai air mata saat dirundung. Aku juga lebih banyak bergelayutan di puncak Azera tanpa memperdulikan sekolah atau setidaknya bersosialisasi dengan para tetangga. Toh Jean tidak terlalu mengeluh bila memang ini yang kuhendaki. Paling-paling ia berusaha membujukku agar kembali ke jalan yang benar (tidak membolos dan membantah teori para guru).

Kupikir hanya dua momen bersama Jean itulah yang paling berkesan selama hidupku. Namun tanpa kuduga ia mau repot-repot mendampingiku hingga kemari.

Pundaknya sejengkal lebih tinggi dariku selalu siap meskipun kenyataannya Jean sendiri kewalahan. Punggung lebarnya berdiri tegap di depanku, menjadi benteng yang siap melindungi walau ia terluntang-lantung menghadapi. Ia tak perlu menggenggam tanganku lalu tersenyum untuk melindungi. Jean melakukan dengan segala usaha untuk membuktikan sesuatu padaku bahwa ia menyayangiku sepenuh hati, sama seperti cara Ayah dan Ibu menyayangiku di waktu kecil.

Setelah sekian lama aku tidak merasakan genggaman tangan Jean, kini aku dihadapkan kembali pada momen-momen itu. Sebagai perbedaan besar di sini, akulah yang menangkup tangan lemahnya sementara ia sedang menutup mata.

Telapak tangan Jean tidak lagi mungil juga tidak sehalus dulu; waktu kita masih kanak-kanak, namun kehangatannya masih terasa sama dan tak tergantikan. Tangannya kini jauh lebih lebar dari milikku, kulit telapak tangannya lebih keras dan kasar sebab ia menggunakan kedua tangannya untuk bertahan hidup selama di Azera dan kali ini ia terlalu banyak mengepal, menjotos, dan menggenggam senjata. Jadi aku bisa merasakan sisa-sisa kelelahan di kedua tangannya.

Namun sekali lagi kukatakan ia tetaplah pemilik kehangatan di kedua tangan. Tangannya mengalir kehangatan yang selama ini kurindukan. Tangannya adalah bentuk kehangatan Ayah dan Ibu yang selama ini telah hilang dari ingatan. Saat kutempelkan telapak tangan Jean ke pipiku bisa kurasakan kehangatan Ibu saat mengusap pipiku dan Ayah saat mengkhawatirkanku.

"Jean ...," kataku lirih memanggilnya. Tapi kedua matanya masih terkatup, tubuhnya masih bersandar di dahan kayu yang dingin.

Melihat Jean seperti tengah menatap bayang-bayang kematian. Wajah Jean pucat pasi tanpa ekspresi seakan nyawanya memang sudah tercerabut dari akar tubuhnya sejak dari tadi, tapi aku mengawasinya tanpa mengalihkan pandang sedikit pun. Dadanya masih bergerak naik turun meski tak begitu kentara terlihat. Hangat dari telapak tangannya masih terasa ...

UNDER WATERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang