19. Musafir

2.5K 705 59
                                    

Kapas keabuan yang mengawang tersedu pilu mengguyur hutan malu-malu. Air sebagai hasil dari kepiluan langit terjun bebas membawa kedinginan ‘tuk dibagikan kepada alam, siap membasahi tiap dedaunan sebelum perjalanan bulatan air jatuh dan hancur ke bawah tanah dan menyatu dengan alam.

Air turun bersama penghidupan baru di tiap kandungannya, melumasi gagahnya pepohonan kanopi menjulang dan turun membawa sari membasahi lima pucuk manusia yang bersandar di antara rimbunnya daun walau murni mereka mengerti air masih sanggup menembus di balik celah tersempit sekalipun.

Grusak grusuk dedaunan berpadu dengan tetasan air menciptakan harmoni sunyi sebagai penghibur duka lara di masing-masing insan yang sanggup menahan dinginnya air dari tengkuk mereka masing-masing.  Burung lebih memilih meringkuk di sarangnya, para binatang melata menyelipkan tubuh mereka bada sela-sela untuk berehat sejenak.

Katak tak mau kalah dari para remaja ikut bermandi hujan di atas teratai sambil bernyanyi dendang, saling bersahutan dengan kawan seperjuangan dengan alasan memeriahkan suasana hujan.

Katak hanya berniat bernyanyi ria di atas pentasnya namun buru-buru Yegi melempar sebuah batu di dekat kumpulan teratai tersebut. Katak kaget lantas melompat berenang menjauh sebelum sang pelempar batu semakin terusik dengan nyanyian khas mereka.

“Biarkan binatang itu berbicara. Aku sama sekali tidak terganggu dengan aktivitasnya,” tutur Macica.

Mimiknya menampilkan kekosongan, Yegi bisa melihatnya dari sorot redup permata zamrud yang masih setia tak berkedip menatap pekatnya tanah. Tangan Macica saling bertautan dan bibirnya berkomat-kamit merapal do’a.

Gadis netra hijau itu enggan bangkit dari posisi bersandarnya dan membiarkan tetesan air hujan dari sela-sela dedauanan menyebar ke permukaan kepala sebelum benar-benar sampai ke ujung rambut kelam sepunggung itu.

Bagi Macica dingin yang menerpa wajah hingga ke ujung kakinya tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan perasaanya saat ini. Gadis itu lebih memilih kembali nemekuni hobinya: merenung hingga hujan benar-benar bosan dan langit tak lagi dirundung duka. 

Merenung adalah hal yang disukai Macica walau pada akhirnya ia sampai ke tahap melamun kosong. Nikmat, katanya. Ia sejenak bisa meredakan gejolak yang ada sebelum kembali ke Macica pendiam dan suka memberontak.

Jean di seberang Macica memahami itu dan lebih memilih diam. Berbeda dengan Macica, pemuda manis itu menengadah menatap langit di balik sela-sela hijau dedaunan.

Matanya tak kalah hebat dari Macica diam-diam menerawang ke atas langit sambil memikirkan keadaan orangtuanya yang berada di atas sana. Mungkin kedua orang tuanya menangis tersedu melihat aksi bunuh diri Jean, atau mungkin upacara pemakaman ditujukan untuk Jean Walski. Pemuda hazel itu hanya tak tahu harus berbuat apa selain mengirim do’a pada Ayah Ibunya.

Seiring bergulirnya waktu, hujan masih setia menemani dan pemuda itu sudah berganti topic dengan meratapi dia yang terlampau naif. Ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang dibohongi oleh sejarah. Melihat ini semua dengan mata kepalanya sendiri Jean memilih bungkam.

Tak hanya sepasang saudara tiri yang saling memikirkan kilas balik masing-masing memori. Ruvallo si pemuda air yang merubah diri menjadi si pemuda darat turut melarutkan diri dalam ingatan lalu. Mata birunya bersembunyi di balik kelopak mata Ruvallo, enggan menunjukkan permata sapphire itu kepada air yang berusaha merembes masuk. Tak jauh beda dari Jean dan Macica, pemuda biru itu juga menjadikan keheningan sebagai pilihan satu-satunya untuk menenangkan diri.

Di sampingnya, gadis berambut pirang tak lagi bercahaya indah rambutnya karena air mengungkung benerang rambut pirangnya. Hebize menerima sapaan tetes demi tetes air dengan kedua tangan yang terbuka. Mata abu-abunya tak malu-malu terbuka lebar untuk meminta air singgah sejenak di pelupuk tangannya sampai penuh sekalipun.

UNDER WATERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang