"Periksa keadaan mereka di seberang kita, Jean!" perintah Ruvallo tanpa menghentikan larinya. Ia tidak dapat menggunakan sensornya karena rusak selagi bertarung melawan pasukan tadi.
"Positif, sensorku mendeteksi panas manusia—" Jean melompati batuan lapuk membuat percakapannya terhenti. "Tunggu, ada yang aneh di sana," lanjutnya.
Jean selaku satu-satunya pemilik sensor yang tersisa masih diam, ia sibuk berlari melintasi jalanan becek, melompati halang rintang yang diguyur hujan serta menghindari batuan cadas di tepian kanan kirinya. Hujan ini cukup memaksa Jean—juga dua lainnya—lebih berhati-hati agar tidak jatuh tergelincir.
"Apa itu, Kak Jean?" tanya Yegi tidak sabaran.
"Hanya satu ... hanya ada satu," ujar Jean ragu-ragu. "Positif, hanya ada satu manusia terdeteksi di sensorku—kurasa sensorku juga tidak bisa berfungsi lagi."
Ruvallo semakin mempercepat larinya seraya mengepalkan salah satu tangan yang terbingkai sesuatu menyerupai jam tangan. "Lari lebih cepat lagi!"
Yegi tertatih-tatih berlari menyejajari, syukurnya ia tak perlu membawa senjata besar milik kakaknya lagi sebab benda jarahan yang mengungkung pergelangan tangannya—juga Jean—jauh lebih ringan dan portabel, yang jadi masalah kaki Yegi tidak sejenjang milik kedua orang di belakangnya sehingga ia harus menguras energi dua kali lipat lebih banyak.
"Kenapa ... cuma ... tiga?" tanya Yegi tersamarkan suara air hujan, "Bukannya ... dua?" Yegi benar-benar kelelahan kali ini.
"Berhenti!" pinta Ruvallo diikuti kedua kawannya. Ia megabaikan pertanyaan Yegi seperti angin lalu,"Kita diuntungkan dengan fondasi tebing yang berundak ini," lanjutnya.
Lima puluh meter di depan mereka, bertiga,tebing—yang menjadi tujuan selanjutnya—membentuk tatanan berundak menyerupai tangga temple menyerupai zig-zag di tebingnya. Mereka dimudahkan untuk melewati akses jalan kali ini, tapi sebelumnya, mereka harus melewati lembah buatan di samping mereka (untuk menjemput kedua temannya) yang beberapa jam lalu merekah akibat ulah orang-orang sinting.
"Hei! Kita tidak perlu repot-repot menyeberang lembah ini!" ujar Yegi riang, "Lihat di sebelah sana! Tanah itu masih menyatu, kurasa rekahannya memang hanya sampai di sini." Yegi mendahului kedua kawannya, menggantikan kakaknya memimpin jalan. "Ayo cepat menyeberang!"
"Jean, apa kau yakin soal itu?" Wajah Ruvallo menyiratkan ketidakpercayaan pada Jean.
"Kurahap sensor ini rusak."
Dan sensor Jean tidak rusak.
Selepas mereka melewati akses jalan yang ditunjuk Yegi (tanpa kendala apapun), Jean merasakan wajahnya menegang sambil harap-harap cemas dengan data tersuguh di sensornya. Sungguh, hanya ada satu panas terdeteksi di sana, Jean berusaha berkata pada otaknya bahwa sensornya mulai rusak tapi tidak ada error system yang ia rasakan selama mengenakan sensor. Semakin Jean mendekat ke sumber kecemasannya, semakin Jean ingin mundur dari sana.
Saat Jean menyibak semak belukar terakhir, saat matanya melihat kedua orang di depannya saling berpelukan, sensornya masih menyuguhkan hasil yang sama: hanya mendeteksi satu manusia yang masih menghasilkan panas—dalam artian hidup.
"Aku menunggu kalian," lirih suara gadis tengah memeluk Hebize, tidak ada suara harapan di sana. Mati, suaranya mati tanpa ada jiwa yang mengisi.
Jean jatuh bersimpuh, jika itu adalah suara Macica, maka ....
"He-hebize," sapa Yegi memanggil Hebize masih dipeluk Macica. Yegi mula-mula menyenggol pelan lengan Hebize, tanpa ada respons yang diinginkan, Yegi beringsut menautkan jemarinya di antara sela-sela jemari milik Hebize, ia menggenggam jemari Hebize yang dingin. "Ayo bangun, kita sudah aman," lanjut Yegi penuh harap.
Ruvallo semula hanya diam membeku mulai melangkah maju mendekati adiknya, kemudian tangan bergetarnya terulur. Macica mengangguk, hati-hati menyerahkan Hebize ke pelukan Ruvallo. Ruvallo kontan memeluk Hebize layaknya lama ia tidak pernah bertemu dengan sahabatnya, diikuti Yegi yang ikut memeluk Hebize sambil merengek kecil.
"Bangunlah Hebize," kata Yegi, "Kumohon bangunlah. Ayo kita pulang bersama-sama, pergi ke luar sana." Yegi semakin erat memeluk sahabatnya itu.
Ruvallo enggan mengatakan apapun, ia masih memeluk Hebize bersama dengan adiknya yang mulai menangis.
"Ayo kita pulang bersama-sama," ulang Yegi. "Kak Jean, tolong bangunkan Hebize, dia 'kan suka marah-marah sama Kak Jean. Kumohon bantu aku ...."
Jean menggeleng pelan, "Dia sudah pulang Yegi." Jean menundukkan kepala. "Tugas kita adalah memberinya tempat peristirahatan terbaik."
UNDER WATER
Sorak-sorai memenuhi ruangan. Tepukan, canda tawa, dan kebahagiaan terpampang nyata di tiap wajah para staf yang saling bahu-membahu. Layar induk hologram yang baru beberapa saat lalu menampilkan status terkini dari keadaan di dalam kuba: seorang mutan nomor 100097 bernama Hebize Ansko mati. Harga yang dibayar mahal sekali, Li-one yang mereka gunakan telah menghancurkan sebuah bukit besar dan seluruh pasukan elit mereka gugur di tempat, itu belum terhitung keadaan hutan dan ekosistem yang akan terganggu ke depannya.
Video live dari kamera seukuran pasir menunjukkan pemandangan yang sbeenarnya duka; dua orang laki-laki memeluk kawannya mati dan dua lainnya saling berpelukan merasakan duka yang sama. Dan kini mereka yang tersisa mulai bahu-membahu menggali tempat peristirahatan terakhir untuk kawan mereka. Kontras sekali dengan keadaan di sini, selayaknya kematian itu adalah hal yang pantas diberikan.
Tidak semua tertawa tentunya, ada beberapa yang mengusap tengkuk dan wajah yang nanar menatap layar hologram induk, ada yang menekuk leher ke bawah tanpa menggerakkan badan, juga ada yang tergugu kaku di tempat duduk.
"Ini masih belum selesai! Kita masih bergerak selangkah, persiapkan diri kalian." Edward memberi perintah pada seluruh bawahannya agar tidak lalai dalam tugasnya. "Lawan kita tangguh, kematian salah seorang di antara mereka tidak akan membuat mereka goyah. Hubungi divisi militer dan divisi pertahanan untuk mengumpulkan kontingen besar pasukan elite di gerbang utara sebagai pertahanan terakhir. Aku tidak ingin kaki mutan-mutan itu menyentuh titik akhir di utara, jadi aktifkan sistem alam nomor dua di dekat tebing, kirimkan air bah di sana. Kalian mengerti?!"
Satu suara mengucapkan, "Mengerti, Pak!"
Semua tanpa terkecuali kembali disibukkan dengan tugas masing-masing, yang tepekur iba tidak boleh melawan, mereka adalah satu bagian dari divisi pengawasan. Tidak boleh ada perasaan iba di sana karena mereka dituntut untuk berfokus pada tugas dalam artian: sangat professional.
"Suara kita tidak akan didengar, baiknya kita kerjakan tugas kita," ucap salah satu teman kerjanya.
Zain memandangi layar hologram di meja kerjanya sendiri, di sana muncul data dari seorang mutan nomor 100097 dan video reka ulang kematian menyedihkannya. "Mereka hanya anak-anak," lirih Zain.
"Apa tadi katamu, Zain?" tanya teman kerja di sampingnya.
"Mereka di dalam kuba sana memiliki nama, bukan memanggilnya dengan nomor seperti seorang terpidana."
"Aku tahu—"
"Maafkan aku kawan-kawan," ucap salah seorang staf wanita memotong, "Perbincangan kalian sepertinya seru sekali, tapi kerja sama kalian sangat dibutuhkan. Para mutan-mutan mulai bergerak menuju ke tebing saat ini, ada baiknya kalian melakukan tugas dengan cepat dan tepat." Selepas itu, wanita tersebut pergi meninggalkan mereka berdua—melakukan kesibukan seorang staf pada umumnya.
"Kita tokoh antagonisnya, bukan?" tanya kawan Zain yang terdengar konyol itu.
"Mungkin ...." Jeda sebentar. "Tidak! Kita akan menyelamatkan mereka," jawab Zain.
"Tunggu, apa tadi katamu?"
"Sehebat apapun kubah buatan ini ..." Zain menyeringai. "Pasti ada kelemahannya."
UNDER WATER
.
Minggu, 2 Februari 2020
2/2/2020
1039 kata
.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDER WATER
Fantasi[Pemenang Wattys 2021 Kategori Fantasi dan Dunia Paling Atraktif] Ketika dunia telah lenyap bersama sejarah jauh tertimbun berselimutkan perairan tanpa ujung, maka pohon Azera memberi secerca harapan untuk bertahan. Manusia yang tersisa mulai memban...