Dengan susah payah Macica menyampirkan seikat ranting ke pinggang. Setelah semuanya terkumpul, dia mau kembali ke rumah. Sesekali lengan Macica mengusap peluh di pelipis. Tangga lilit yang ditapaki memang tidak terlalu curam, namun beban yang dibawa serta jauhnya jarak membuat hukuman gagal lulus dari Ibhe terasa begitu berat.
Sesampainya di depan rumah, dia memilih beristirahat sejenak. Sembari melemaskan otot, Macica mengingat-ingat percakapan orang sekitar tentang keluarganya di perjalanan tadi. Mulai dari hilangnya kabar Tuan Krosktan, sindiran tentang teori menyimpang buatan ayahnya, perihal kegagalan Macica dalam menempuh pendidikan—yang dengan mudah tersebar luas--sampai mengecap Macica sebagai potret anak nakal.
Dia sudah biasa dianggap seperti itu. Namun saat mendengar kata "Tuan Krosktan", telinga gadis itu mendadak pekak. Wajahnya memerah beriringan dengan suara gemeretak di gigi. Ingin rasanya Macica meraung marah pada mereka seperti saat dia memaki kawan sekelas jika tak ingat dia berurusan dengan orang yang lebih tua.
Mau digunjing bagaimanapun Macica tetap pada keyakinannya. Ada rasa bangga kepada Tuan Krosktan yang membuat dia mampu menegakkan kepala. Sampan yang mereka gunakan sampai kini tidak akan pernah ada bila Tuan Krosktan tak menyempurnakan model kapal buatannya.
Sesungguhnya sejak awal kapal bukan murni ciptaan Tuan Krosktan, melainkan sebuah hasil nyata dari ilmu yang didapatkan. Tanpa ada praktik, maka perahu hanyalah teori semata. Dan tanpa adanya sampan, mereka tak bisa menjaring banyak ikan untuk dikonsumsi; tanpa ada ikan, mereka hanya mengonsumsi buah aze sampai akhir hayat.
"Mereka yang tak pernah bergerak selangkah memilih berlindung di zona aman tanpa berpikir ada yang lebih baik di luar sana." Tuan Krosktan berlutut, menyamaratakan pundaknya dengan Macica. "Maka dari itu, Macica teruslah melangkah maju; kepakkan sayap walau ada banyak rintangan. Buktikan pada semua bahwa mereka salah."
Sekelebatan masa lalu yang datang tanpa diundang. Tak dapat dipungkiri walau sembilan tahun berlalu, sekilas bayangan ayah dan ibunya membuat dada Macica sedikit sesak.
UNDER WATER
Tidurnya tak nyenyak. Sesekali Macica mengubah posisi tidur ke kanan-kiri, kadang melipat kedua tangan ke belakang kepala. Mau dipaksakan bagaimanapun dia tetap tak bisa tidur.
Karena matanya tidak mau menutup, Macica bergegas ke arah lemari—mengganti piyama dengan baju lengan panjang dan mengenakan bot. Diraihnya kantung rajut mini lalu pergilah dia mengendap-endap keluar rumah. Macica waspada menatap kamar Tuan dan Nyonya Walski, juga melihat sekilas Jean yang terlelap di sofa ruang tamu.
Sesampainya di depan rumah, Macica menikmati sejenak pemandangan favoritnya sedari kecil. Ribuan kunang-kunang mengelilingi Azera di tengah malam. Banyak dari kunang-kunang memenuhi jalan setapak bahkan beberapa dari mereka hinggap di tiap ranting pepohonan. Kemerlap hijau mungil mengelilingi Pohon Azera memberi penerangan alami.
Ditangkap beberapa kunang-kunang oleh Macica lalu mengurung mereka ke dalam kantung rajutan mini miliknya. "Maafkan aku kunang-kunang, ini hanya untuk sementara," bisik Macica. Maka jadilah kantung tersebut sebagai alat penerangan alami bagi Macica, yang membantu mengantarkannya ke arah barat—di mana ruangan Tuan Krosktan berada.
Sesekali angin laut yang asin bertiup menerpa rambutnya dari berbagai arah. Kadang deburan ombak jauh di bawah kaki sukses menarik perhatian Macica, tapi terlebih dari itu ada rasa waswas akan ada orang dewasa yang tiba-tiba mencekal lengannya. Contohnya orang berpakaian hitam-hitam yang selalu berjaga di malam hari.
Kabar baiknya perjalanan Macica tidak terganggu oleh apa pun. Dengan terengah-engah dia mendaki tangga-tangga terakhir yang mengarah ke ruangan kerja ayahnya. Tidak seperti sebelumnya, Macica kini melihat tanda peringatan agar tidak menginjakkan kaki ke wilayah ruangan ayahnya. Peduli apa? Toh Macica tetap masuk ke dalam.
Dengungan engsel kayu semakin nyaring terdengar terakhir kali Macica kemari. Dia harus berhati-hati menutup pintu walau suara decitan tetap terdengar. Diarahkan kantung berisi kunang-kunang untuk menerangi ruangan (meskipun cahaya kunang-kunang sangatlah lemah), lalu mulailah Macica mencari dokumen ayahnya lebih teliti.
Macica meraba meja milik Tuan Krosktan untuk mencari dokumen penting. Nihil. Dicarinya dokumen ke sisi dinding yang lain, maka jawabannya pun sama. Setidaknya seluruh ruangan sampai ke sudut-sudutnya telah diobrak-abrik namun hasilnya tetap nol. Merasa sedikit putus asa Macica menahan rasa frustrasi dengan membenturkan punggungnya pada dinding.
Sebuah tombol tak sengaja tertekan membuat Macica sedikit tersentak karena rak-rak bekas terbuka, menampilkan celah di dalamnya: sebuah ruangan rahasia. Pelan-pelan Macica menggeser rak lalu mengarahkan kantung cahayanya pada setiap sudut ruangan. Dia semakin dibuat terheran-heran karena tak ada apa pun kecuali sebuah buku usang dan kotak mungil yang tergeletak di sudut.
Tak ingin menyia-nyiakan momen, Macica meraih kedua benda tersebut lantas duduk beralaskan lantai berdebu. Dibukalah sampul buku.
Halaman 1:
Siapa pun yang membaca buku ini tolong sembunyikanlah dari khalayak umum. Jika buku ini ditemukan, maka nyawamu menjadi taruhannya.
UNDER WATER
Dipublilasi pada hari Sabtu, 8 Juni 2019
Direvisi pada hari Sabtu, 26 Desember 2020
Direvisi pada Sabtu, 12 Februari 2022 (hwhwh aku datang lagi dari masa depan hwhw)~('-'~) ~('-')~ (~'-')~
Terima kasih sudah mau menyempatkan waktu! :3
~('-'~) ~('-')~ (~'-')~

KAMU SEDANG MEMBACA
UNDER WATER
Fantasy[Pemenang Wattys 2021 Kategori Fantasi dan Dunia Paling Atraktif] Ketika dunia telah lenyap bersama sejarah jauh tertimbun berselimutkan perairan tanpa ujung, maka pohon Azera memberi secerca harapan untuk bertahan. Manusia yang tersisa mulai memban...