Peringatan!
Ini adalah murni fiksi belaka tanpa ada maksud menistakan siapa pun dan/atau apa pun..
Salju Pertama di Awal Tahun yang Menyedihkan
.
Petropavlovsk-Kamchatsky, Rusia.
Aku lahir para bulan Januari, tepatnya pada tanggal satu—saat di mana orang-orang berbahagia menikmati manisnya bubur gandum kutia, sebaskom besar salad Olivier, legitnya minuman vzvar, manis dan gurihnya kue vatrushka. Mereka juga ditemani canda tawa, kehangatan serta kado berbagai macam warna dan ukuran.
Saat tengah malam tiba, seluruh televisi tanpa kabel menayangkan megahnya Menara Kremlin Spasskaya yang berlatar belakang kembang api, lalu lagu kebangsaan dikumandangkan setelahnya. Terkadang aku melihat dari balik jendela rumah mereka (yang besar ukurannya) terdapat banyak orang—seperti satu keluarga besar—kompak mengenakan sweter hangat yang sama warnanya dengan pohon pinus besar berhiaskan lampu-lampu kaca.
Aku lahir di bulan Januari, saat kapas putih nan dingin melayang di udara sebelum akhirnya mendarat di atap-atap rumah, pinggir jalan, dan pohon maple yang telah meranggas daunnya.
Rose, kakakku, bercerita kebanyakan bayi lahir dalam keadaan merah telanjang seperti tikus dan menangis kencang (kalau boleh kukatakan begitu). Akan tetapi, itu beda kasusnya dengan kelahiranku. Setelah empat jam lahir ke dunia, aku sepenuhnya diam dan tak menggeliatkan tubuh sedikit pun. Kakak panik; Ayah dan Ibu jauh lebih panik.
Dikatakan bahwa aku lahir prematur dan tak mampu bertahan setelah hidup empat jam di dunia. Kakak dan Ibu menangis, sedangkan Ayah termangu menatapku yang sudah membeku—merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Ayah meraba jemari tanganku (yang kata Rose terkepal erat) dengan hati-hati seakan jemariku serapuh kaca super tipis.
Kata Rose, Ayah kemudian meneteskan air mata karena merasakan betapa dinginnya buku-buku jariku, lalu semakin deras air matanya saat Ayah mencium keningku yang renta—serenta kepingan bunga es. Dalam racauannya, Ayah berharap bisa membahagiakanku dengan segenap tenaganya tapi apa daya takdir berkata lain, begitulah kira-kira kata Ayah pada saat itu.
Namun seperti sebuah karangan fiksi yang dipenuhi keajaiban di sana-sini, aku yang berada di dalam kotak inkubator mulai menggerakkan satu dua jemari mungilku, menggerakkan badan, lantas mengeluarkan tangisan lirih dan semakin kencang terdengar setelah tiga jam berdiam diri. Spontan Ayah memanggil dokter sekaligus memeriksa keadaanku seperti seorang ayah yang cemas dengan kondisi anaknya—terutama aku baru saja bangkit dari kematian.
Tiga jam dicekik kesedihan membuahkan kebahagiaan setelahnya. Keluargaku yang semula berduka di tengah perayaan Natal telah diliputi kebahagiaan tiada tara. Aku tidak terlalu mengerti perasaan tersebut, tetapi setidaknya setelah melihat Rose menceritakannya kembali padaku dengan mata yang berbinar karena genangan air mata telah membuatku sedikit mengerti bahwa itu adalah salah satu memori terindahnya. Dan aku cukup bahagia karena itu.
Malam itu, pada tanggal satu Januari, aku duduk di samping Rose yang tergolek tak berdaya di atas ranjang reyot dimakan umur. Kami berbagi secangkir cokelat hangat dan selimut kotor yang koyak di ujungnya.
Rose-ku yang cantik dan menawan memberiku kado ulang tahun sekaligus Natal berupa cerita-cerita tentang kelahiranku dan Ayah-Ibu yang di mana aku tak benar-benar hafal wujud mereka. Dia mendeskripsikan sejelas mungkin siapa Ayah dan Ibu sambil menatap langit-langit yang berjamur dan berlobang. Rose masih tetap mengoceh meskipun bibirnya mulai bergetar karena tak sanggup bergerak, lama kelamaan suaranya semakin lirih.

KAMU SEDANG MEMBACA
UNDER WATER
Fantasy[Pemenang Wattys 2021 Kategori Fantasi dan Dunia Paling Atraktif] Ketika dunia telah lenyap bersama sejarah jauh tertimbun berselimutkan perairan tanpa ujung, maka pohon Azera memberi secerca harapan untuk bertahan. Manusia yang tersisa mulai memban...