51. Melempar

1.4K 467 171
                                        

Bagaimana bisa seorang gadis pemurung; perenung; pendiam sekarang berubah hampir 180 derajat menjadi sosok yang kesetanan melawan musuhnya? Dulu ia hanya bisa mendelik di balik rimbunnya dedaunan Azera, menatap hamparan sumudra biru yang bersinar disorot matahari dan mendayu-dayu ditiup angin sembari berpikir untuk apa ia hidup bergelantungan di atas pohon. Yang gadis itu pikirkan kurang lebihnya ialah: "Mengapa aku tidak merasa bebas? Aku seperti buah aze di sana! Memilih takdir antara dipetik untuk dikonsumsi, mati membusuk tanpa dijamah, atau mati terlepas dari dahan mungil lalu jatuh tak berbekas di bawah sana."

Jika ditanya siapa pemilik pikiran sederhana itu, maka jawabannya adalah aku. Seorang gadis yang bahkan tak pernah berpikir akan bertemu orang baru; menyelam lautan dalam; melakukan perjalanan panjang; melewati rintangan; melakukan perlawanan; membunuh, membunuh, dan membunuh .... Membunuh yang seharusnya tidak boleh dibunuh.

Seharusnya tidak boleh dibunuh. Mereka bukan musuh, mereka hanya melawan beberapa monster yang berusaha keluar dari jerujinya--takut bila para monster ini mencelakakan hidup mereka. Namun, kalau aku boleh membela diri, aku--Hebize, Ruvallo, dan Jean--juga tidak ingin membunuh. Semenjak peluru ditembakkanlah untuk kali pertama kami baru mulai membela diri. Lalu berkembang signifikan menjadi perlawanan dan beradu kekuatan untuk saling menjatuhkan. Jatuh lantas mati. Mati di tangan kami.

Aku memaksa mereka untuk jatuh di bawah kakiku. Darah mereka bersatu, menggenangi tanah yang kupijak, terus bertambah dan meluber ke mana-mana, semakin pekat dan busuk aromanya. Seharusnya aku berhenti, tetapi kedua tangan ini terus menebas dan mengamuk. Sebagian diriku berkata bahwa inilah yang terbaik, kematian mereka tidak akan sebanding dengan nyawa dan hak yang dirampas oleh orang-orang luar kubah.

Sekarang kedua tangan ini tergeletak kaku, mati rasa, dan hilang asa. Tubuh ini juga tak berdaya di atas gundukan tanah layaknya seonggok mayat di tengah peperangan yang siap dikubur pada saat itu juga, tetapi mata dan telingaku masih setengah berfungsi, aku juga mampu mengais udara yang bercampur dengan debu, tubuhku bahkan merespon kotornya udara dengan batuk dan rasa sesak di dada. Aku sendiri juga tidak ada niatan untuk mengibarkan bendera putih meskipun ketiga harimau yang tersisa kini mengelilingiku, menggeram dalam-dalam lantas membuka mulutnya lebar-lebar--bersiap mengeksekusiku di tempat. Sepercik cahaya dari balik mulut mereka mulai terkumpul ... entahlah apa itu misil atau jenis lainnya.

"Hentikan!"

Seseorang di belakang harimau itu berjalan kemari. Di tengah keterpurukanku dan efek buramnya mata karena kambuh, sosoknya tampak menjulang dari bawah sini, terlihat kabur dan memusingkan jika aku berusaha menatapnya intens. Aku tidak tahu siapa ia dan apa pengaruhnya tapi sejurus kemudian ketiga harimau itu mengatupkan mulutnya dan menjauh perlahan.

"Kak Maci."

Seketika aku berdecih dan menggertakkan gigi secara bersamaan. Di saat-saat seperti ini ia datang.

"Kejutan!" katanya seraya bertepuk tangan dan membuat gelak tawa mengejek. "Aku tidak menyangka kau menyusulku secepat ini. Parahnya lagi kau menghabisi dua Robot Zoro 1 dalam kurun waktu yang lumayan singkat! Luar biasa!" Ia berlutut, menyambung tepuk tangan di depan wajahku yang menyatu dengan tanah. Aku tak dapat mengumpat selain menggerakkan bibir yang kaku untuk berdecih. Lidahku kelu, sekelu kedua tanganku.

Melihat keadaanku yang sepayah ini tentulah si Cebol bisa membunuhku dalam sekali sentilan jari--dengan menancapkannya belati di leherku misalnya, tetapi ia tidak melakukan apa pun terhadapku. Cebol ini sekadar berlutut dan menyudahi tepukan, menjauhkan kedua tangannya dariku lalu memandangku intens tanpa menguarkan ekspresi apa pun. Setidaknya hal itu yang kutangkap dari lensa mataku selain baret luka dan coreng-moreng di wajahnya.

Lalu tanpa kuduga ia menarikku dari kasarnya permukaan tanah ke dekapannya, membenamkan wajahku ke dadanya--membiarkan aku mendengar degup jantungnya yang tenang.

UNDER WATERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang