53. Aku Tidak Percaya

1.3K 434 82
                                    

Lidahku kelu; kakiku kaku; tanganku tergolek layu, sementara itu dadaku kembang kempis menghirup kotornya debu yang terhempas bersama angin. Dampaknya lari ke kerongkongan yang terasa gatal saat menghirup udara kotor. Akan tetapi aku sangat bersyukur mataku tidak lagi sekabur lagi. Sejauh mata memandang, suara ledakan demi ledakan terus bersahutan--dibalut kepulan asap, auman, teriakan, dan tawa dari seorang Cebol.

Sebentar lagi—entah kapan—para harimau itu akan datang menyerangku setelah berhasil melewati pertahanan Ruvallo--sebentar lagi Ruvallo akan mencapai limit yang telah ditentukan.

Aku terus menjerit dalam kekeluan lidah yang kurasakan. Rasanya aku ingin menangis saat melihat Ruvallo yang melindungiku mati-matian. Ucapannya terdengar seperti pesan terakhir sebelum kematian datang menjemputnya. Bukan ini yang ingin kualami lagi: aku tidak ingin Ruvallo gugur karena ketidakbecusanku. Sudah cukup Hebize dan Jean yang mati!

Kumohon bergeraklah! Aku tidak bisa membiarkan Ruvallo kewalahan menangani mereka! Demi apa pun kumohon bergeraklah! Aku tidak peduli jika nanti aku akan mengalami pesakitan yang jauh lebih menyiksa; aku tidak peduli bila tubuhku kelak akan merasakan rajaman ratusan pedang; aku tidak peduli bila nanti akan sekarat dalam keadaan yang menyakitkan! Komohon bergeraklah!

"YEGI LAWANMU ITU AKU!" Pada akhirnya aku berteriak lantang, namun itu tidak akan mengalihkan atensi Cebol dari Ruvallo, suaraku teredam penuh oleh pekikan serangan dan mereka jauh dari tempatku berada--cukup jauh hingga di mataku tubuh mereka tak lebih seukuran lengan.

Dengan segala beban yang menimpa sekujur tubuh, aku bersusah payah bangkit dari keterpurukan. Kedua tanganku bergetar hebat kala menopang keseluruhan badan, rasanya tanganku tak lebih dari sepasang lidi yang menyangga sebongkah batu. Aku hampir limbung karena saking tidak kuatnya menopang tubuh, tetapi aku tidak ingin diam saja menyaksikan pertandingan.

Sembari terus menyulut teriakan, aku tetap berusaha beranjak dari tanah yang seperti tengah angkat beban: aku mengaitkan tanganku ke batuan besar yang tadinya menjadi sandaran, lalu berusaha menegakkan kedua kaki yang tertekuk kaku. Dengan menopangkan diri di sebongkah kayu, resmi sudah aku berdiri di bawah kaki sendiri.

Perlahan-lahan aku mulai melangkah maju. Langkahku tak ubahnya seorang bayi yang baru belajar berjalan, aku beberapa kali hampir terjungkal ke belakang dan tersungkur ke depan. Terbata-bata kakiku menapak titian yang terus bergetar diberondong ledakan demi ledakan, sementara itu angin yang dihasilkan dari pertarungan di depanku terus datang mengipasi wajah dan anak rambut.

Pelan-pelan aku mulai bisa berjalan normal, tanganku bisa menutup goresan yang menghiasi perut.

Lalu berjalan lebih cepat dari sebelumnya setelah aku yakin tidak akan hilang keseimbangan

Lalu berlari kecil seraya melepaskan tangan yang menempel di perut sambil menahan rasa nyerinya.

Hingga sampai ke tahap di mana aku pulih--kembalilah aku berlari seprima tadi sembari berteriak memanggil nama musuh utamaku. "YEGI!" Sepasang kakiku pergi ke tempat di mana ia merundung Ruvallo bersama tiga harimaunya. "LAWANMU ITU AKU!"

Kukirimkan ia sebuah misil sambutan. Dan bum! Yegi yang menunggangi salah satu harimau berhasil menghindar.

"Akhirnya kau pulih juga, ya!" tutur Yegi berbahagia. "Gawat sekali, aku akan melawan Kak Maci yang jauh lebih kuat dari sebelumnya! Ini pasti akan jadi lebih seru!"

Yegi menunggangi salah satu harimau yang kulawan tadi. Sementara mereka berdua berlari kemari, mulut harimau yang Yegi tunggangi terbuka lebar. Tepat beberapa puluh meter di depanku ia mengeluarkan sebuah misil cahaya yang sempat membuatku terpental cukup jauh. Aku segera membentuk sebuah perisai cawan tebal untuk antisipasi selagi terus maju—menantang misil tersebut.

UNDER WATERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang