47. Harga Sebuah Pengkhiatan

1.4K 446 113
                                    

Kubaringkan Jean begitu saja di tanah, lalu menutupinya dengan jubah. Aku tidak punya waktu menggali lubang sepetak untuk menguburnya, musuh di depanku bisa-bisa menggilasku dan Ruvallo saat kami mengeruk tanah. Setidaknya jubah yang menemani kami selama ini cukup untuk menutupi jasad Jean. Setidaknya begitu.

Setelah itu aku berdiri tegap di samping Ruvallo sembari memperbaiki posisi tubuh. Kini waktunya aku pasang badan di depan Jean--menggantikannya yang selama ini tak gentar melindungiku.

"Dengar baik-baik ya, Cebol!" sentakku sembari mengeratkan pengait arloji. "Kekuatan pasukanmu tidak ada bandingannya dengan kekuatan aku dan Ruvallo. Kita beda level di sini."

"Hee ... begitukah." Ia yang jauh di depanku tampak lebih cebol dari yang kuperkirakan. Sekarang menatapnya saja sudah membuatku ingin menjitaknya.

"Tapi karena pasukan kalian sudah bersiap di utara maka kami akan menyambangi mereka semua. Lagi pula memang ini tujuan kami repot-repot datang kemari. Jadi kami berdua akan berangkat sekarang juga." Jeda sebentar. "Kau boleh lari duluan ke utara menunggu kami, beristirahatlah sebentar di sana."

Tentu saja ia tak akan melakukan itu. Laki-laki itu segera pasang badan—bersiaga menahan pergerakan kami.

"Tapi jika kau menahan pergerakanku—" Kutahan perkataanku sejenak, menatapnya dengan bengis. "—kurang dari satu jam kepalamu akan kuberikan pada pemimpinmu."

UNDER WATER

Aku tak menyangka si Cebol lebih kuat dari yang kuperkirakan. Kedua tangannya jauh lebih ahli memainkan kedua arlojinya (yang awalnya kukira cuma ada satu). Dari awal ia memang sudah ahli memainkan senapan dan bertahan, jadi seharusnya aku tidak perlu terlalu terkejut. Tetapi kalau aku boleh jujur tangannya lihai sekali menahan pergerakan aku dan Ruvallo walaupun ekspresinya tak dapat dibohongi: ia cukup kewalahan.

Saat aku tertahan oleh serangan si Cebol, Ruvallo bergerak cepat mendahuluiku. Di momen itulah keseimbangan Cebol mulai goyah. Aku harus mengurus Macica atau Ruvallo? Mungkin kiranya begitu.

Kami berdua sempat hampir menguasai alur pertarungan. Secara bergantian aku dan Ruvallo bahu membahu meloloskan diri dari serangan bertubi-tubi. Namun si Cebol agaknya memang lebih ahli dari kami berdua, ia segera memutarbalikkan keadaan dengan menggabungkan kekuatan dua arloji yang selama ini baru kami tahu bila arloji bisa sefleksibel itu.

Ia tiba-tiba melontarkan misil yang jauh lebih merepotkan dari yang awal-awal. Ukurannya jauh lebih kecil dari perkiraan namun sekalinya meledak mampu memelanting kami ke arah yang berbeda. Kebetulan sekali aku dan Ruvallo dipukul mundur hanya berbekal sebuah misil sialan.

Aku jatuh terjerembab di antara timbunan tanah lembab sementara Ruvallo telah membentuk tameng selama di udara kini berdiri tegap. Ia telah bersiaga sebelumnya.

"Kau gigih sekali ya," ungkapku berbasa-basi seraya menyeka tanah yang menempel di pipi.

"Justru kau yang terlalu percaya diri melawanku," katanya sambil menyibak rambut.

Ruvallo berjalan mendekat padaku. "Macica, biar aku yang melawan orang ini." Ruvallo menawarkan. "Kau bisa pergi lebih dulu dan membuat keributan di utara."

"Tidak. Biar aku yang melawannya." Sekali lagi kuperbaiki kunciran yang sempat melorot. Kali ini aku tak akan main-main. "Dia punya hutang yang harus dibayar padaku."

"Kauyakin?"

"Justru apa kau yakin bisa membuat keonaran di gerbang utara?" tanyaku balik, "katamu pasukannya ada banyak dan pastilah anggotanya tak main-main kuatnya jika dibandingkan seorang cebol ini."

UNDER WATERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang