26(Revisi)

12.1K 448 0
                                    

"Apapun yang kamu inginkan selagi bermanfaat insyaallah saya setuju"

****

Gus Aji

Sejak pagi saya sudah bersiap dengan koko sarung peci dan saya lengkapi dengan sweeter karena hawa dingin pagi ini sangat menusuk sepertinya cuaca ekstrim sedang melanda kabupaten Wonosobo ini.

Saya sedang berbenah dikamar yang berada diasrama yang pernah saya tempati dengan kedua sahabat saya, Fiqi dan Iqbal.

Saya juga tidak memberi tahu mereka jika saya ingin benah kamar. Saya kasihan, mereka sudah terlalu capek dengan kesibukan mengajar dan belajar dipondok. Saya juga masih mampu untuk mengerjakannya sendiri.

Hari ini ahad selepas ba'da dzuhur insyaallah saya akan menjemput Sania. Wanita yang pernah saya tolong dan ternyata saya dipertemukan dengannya kembali oleh sebuah perjodohan.

Rencananya saya akan menjemputnya karena ia akan tinggal dipesantren abi. Saya menjemput tidak sendiri, ditemani Ning Ela dan juga Kang Usman yang akan menjadi supir nantinya.

Saya sudah bersiap dan juga berpamitan dengan Umi dan Abi. Mereka mendoakan agar selamat sampai tujuan.

Kami tepatnya Saya, Ning Ela dan kang Usman berangkat tepat ba'da dzuhur setelah shalat berjamaah dimasjid pondok.

Namun diperjalanan harus tersendat karena macet alhasil saya dan rombongan sampai dikediaman pak Ilham empat puluh lima menit dari waktu biasanya.

Saya disambut hangat dengan keluarga Pak Ilham, mereka sangat ramah. Pantas saja Sania ramah baik pula.

Kami berbincang mengenai perjalanan sampai pada Pak Ilham mengatakan bahwa ada hal yang ingin disampaikan oleh Sania, jujur saya penasaran juga ada rasa khawatir apa yang akan dikatakan gadis ditengah-tengah ayah dan ibunya.

"Saayang katanya ada yang ingin dibicarakan dengan Gus Aji" Suara khas pak Ilham mengheningkan seisi ruangan yang tadinya asik dengan sedikit tawa sekarang berubah hening seketika. Sania mengangguk tanda ia memang ingin mengatakan sesuatu pada saya.

"Maaf Gus ada yang ingin saya bicarakan, apa Gus tidak keberatan jika saya berbicara berdua didepan dengan pintu masih tetap dibuka atau dibelakang bersama dengan Ning Ela agar tidak menimbulkan fitnah" seketika saya tercengang dengan panggilan yang Sania ucapkan kepada saya.

Sebenarnya apa yang ingin dikatakan Sania hingga sepertinya begitu penting. Jujur saya khawatir. Saya juga melihat Sania yang terus saja menunduk dan meremas gamisnya dengan sangat kuat, sepertinya ia sedang gugup.

"Baiklah didepan saja" final saya mengatakan bahwa saya dan Sania akan berbicara didepan dengan pintu yang tetap terbuka. Saya dan Sania segera berpamitan dan beranjak dari tempat duduk masing-masing.

Saya berjalan didepan Sania yang terus saja menundukkan kepala. Hati saya bergemuruh ada apa ini Ya Allah semoga baik-baik saja doa yang selalu saya ucapkan. Jujur saya takut.

Sampai teras depan rumah Sania, saya duduk bersebrangan dengan Sania namun pandangan saya dan Sania tetap menunduk ataupun menatap kearah lain. Saya dan Sania masih ingat akan dosa zina.

"Apa yang ingin Sania bicarakan" saya memberanikan diri untuk bertanya meski saya takut pembicaraan ini menyangkut perjodohan dan sudahlah saya tidak ingin berpikiran yang tidak-tidak.

Meniti Rasa (Selesai, Dalam Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang