68

11.1K 495 29
                                    

"Kamulah alasanku untuk selalu menjaga dan membuatmu bahagia. Bahagiaku bahagiamu juga, kita itu sepasang bukan sendiri"

****

Huekkk..

Huekkk...

Sania terus saja memuntahkan isi perutnya, ia memuntahkannya diwastafel dapur karena ia sudah tidak tahan jika harus berlari sampai ke kamar mandi.

Gus Aji dengan sigap berlari dan membantu Sania dengan memijat tengkuk Sania.

Gus Aji juga panik, yang ia tahu istrinya baik baik saja tapi kenapa ini sebaliknya? Apa istrinya kecapekan. Mungkin saja iya.

Sedangkan para orang tua pun tidak kalah panik, apalagi ibu Sania, ada raut cemas ketika melihat putrinya muntah muntah seperti itu.

"Masih eneg" tanya gus Aji yang masih setia memijat tengkuk Sania dengan penuh kasih sayang.

Sania mengangguk dengan masih memposisikan dirinya menghadap bawah siap memuntahkan kembali isi perutnya.

"Sudah bi, tapi tolong ijinin Sania istirahat dikamar ya sama umi dan yang lain, Sania pusing" gus Aji mengangguk dan memapah Sania menuju ke kamarnya yang melewati para orang tua.

Namun saat baru saja akan ijin ke para orang tua gus Aji dan Sania sudah diberondong pertanyaan oleh para orang tua terutama umi dan ibu Iza.

"Kamu ndak papa nak?" tanya nyai Latifah saat tahu Sania sudah kembali dengan di papah gus Aji.

"Mboten mi, Sania cuma eneg saja" Jawab Sania dengan suara lemasnya.

"Sek bener? Apa meh ke dokter saja" tanya nyai Latifah lagi. Sebenarnya bu Iza ibu Sania pun setuju kalau anaknya dibawa ke dokter tapi semua keputusan ada dianak dan menantunya.

"Mboten usah mi, biar habis ini di kerokin mas Aji saja" Sania tersenyum tulus meskipun bibirnya pucat. Ia tersenyum agar semua keluarganya tidak menghawatirkan dirinya.

Gus Aji yang tahu istrinya sudah ingin istirahat pun akhirnya ijin dengan semua keluarga yang ada di ruang keluarga. Terutama pada uminya agar tidak mengintrogasi Sania lagi.

"Mi, bu dan semuanya saja Aji ijin ke kamar mengantar Sania istirahat dulu" ijin gus Aji pada keluarganya.

"Ya istrinya dijaga sek bener" titah kyai Sulaiman.

"Nggeh bi. Kami duluan, Assalamu'alaikum" pamit gus Aji.

"Wa'alaikum salam"

****

Sesampainya dikamar Sania mengganti pakaiannya dengan piama dan langsung membaringkan badannya karena memang pusing di kepalanya sangatlah membuatnya lemas, beruntungnya ia tidak sampai jatuh pingsan.

"Masih pusing?" Tanya gus Aji dengan menyelimuti tubuh mungil Sania.

Sania mengangguk, memang yang dirasakan saat ini adalah pusing dan mual.

"Sini abi kerokin biar cepet sembuh, kan sebentar lagi acara kita dipondok. Abi ndak mau sayangnya abi kenapa napa" jujur gus Aji.

"Iya bi tolong ya, Sania juga ndak mau kaya gini" ucap Sania sendu.

Memang kurang dari satu minggu adalah acara resepsi yang diadakan oleh keluarga ndalem maka dari itu, jika sampai mempelai perempuan jatuh sakit jadwal acara pasti akan diubah lagi dan Sania tidak ingin lebih lama berbohong pada yang lain mengenai statusnya saat ini. Meski ia tidak yakin semua akan menerimanya dengan baik, tapi sebisa mungkin dia yang harus selalu baik.

"Mau di kerok apa di pijit?" Tanya gus Aji lagi.

"Pijit saja bi, Sania dingin" gus Aji mengangguk mengerti bahwa istrinya sudah tidak karuan dilihat dari wajah pucatnya yang sangat kentara.

Meniti Rasa (Selesai, Dalam Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang