78

24.9K 650 57
                                    

"Kebahagiaan yang sempurna adalah hadirnya seorang anak"

****

Sembilan bulan sedang berjalan, perut Sania pun sudah membuncit. Bahkan susah untuk berjalan apalagi tidur.

Perjuangan mempertahankan kehamilannya tidak semudah yang di bayangkan.

Ketika kandungannya memasuki usia ke enam bulan, Sania hampir saja terjatuh karena ulah Mia yang dengan sengaja berjalan dan menabrak Sania dengan kencangnya. Beruntunglah ketika itu ada Rara dan Suci yang sigap menopang tubuh Sania.

Jika tidak cepat bisa-bisa hal yang tidak di inginkan terjadi.

Pada saat itu kekesalan Suci dan Rara sudah memuncak, jadilah mereka melaporkan kejadian itu pada gus Aji dan keluarga dhalem karena menurut mereka kelakuan Mia sudah sangat keterlaluan.

Dan berakhirlah keluarga dhalem berkunjung dan bersilaturahmi ke rumah keluarga Mia.

Disana kyai Sulaiman mengatakan semua hal yang dilakukan oleh Mia untuk mencelakakan Sania. Tentu saja kedua orang tua Mia kaget dan kecewa karena ulah anaknya.

Dan pada saat itu juga kedua orang tua Mia memutuskan untuk mengirimkan Mia ke luar negeri tepatnya Mesir untuk menetap dan tinggal bersama nenek dari ibunya.

Dari saat itu juga Sania sudah merasa aman karena sudah tidak diganggu lagi oleh Mia.

Tapi ada perasaan sedih ketika mengetahui bahwa Mia harus pergi ke luar negeri karena kedua orang tuanya tahu akan sikapnya. Kenapa harus luar negeri tidak dalam negeri saja?

****

"Umi hari ini cek kandungan lagi kan?" Tanya gus Aji ketika sedang duduk di depan kursi meja rias Sania.

"Iya bi, tapi Sania susah jalannya bi. Mana kakinya bengkak" gus Aji tampak tersenyum kearah istrinya ini.

Perjuangannya mempertahankan kandungan dan anaknya ini bisa dibilang sangat mengharukan.

Sania rela tidak tidur karena tendangan calon bayinya yang bisa membuatnya meringis dan kadang pula Sania mengatakan geli.

"Mau abi gendong?" Jelas Sania langsung menggeleng karena pertanyaan gus Aji ini.

"Nggak lah bi berat kan yang digendong ndak cuma Sania" gus Aji tampak mengangguk-anggukkan kepala. Memang benar juga apa kata istrinya ini.

"Ya sud..."

Belum juga gus Aji menyelesaikan bicaranya namun sudah terpotong karena ringisan Sania.

"Aww..sttt..." Ringis Sania dengan memegangi pinggangnya.

"Umi kenapa?" Tanya gus Aji.

"Ndak tahu bi tapi sakit banget ini...sttt" jelas Sania dengan masih memegangi pinggangnya yang katanya sakit.

"Mana yang sakit?" Tanya gus Aji yang sudah mulai khawatir.

"Ini bi..Ya Allah sakit banget bi" jelas Sania yang sudah mulai merengek.

Gus Aji sudah mulai bingung, hal apa yang harus dilakukannya. Ia tidak mungkin pergi memanggil uminya yang masih sibuk di pondok putri.

"Ning Ela.." gumam gus Aji.

"Sebentar" Sania mengangguk walaupun ia tidak tahu apa yang akan dilakukan suaminya ini.

Gus Aji keluar dan mengetuk pintu kamar ning Ela untuk meminta bantuan.

"Ada apa mas" tanya ning Ela sesudah menjawab salam dari gus Aji.

"Tolong panggilin umi di pondok suruh ke kamar mas sebentar, bilang mbak Sania pinggangnya sakit. Mas ndak tahu kenapa takut sudah mau melahirkan." Ning Ela tampak diam mencerna perkataan gus Aji sebelum akhirnya mengangguk dan bergegas menemui uminya.

Meniti Rasa (Selesai, Dalam Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang