Bagian 22

384 74 4
                                    

Jinhyuk menghela nafas panjang setelah mendengar pertanyaan Seungwoo. Ia memasukkan bundle materinya ke dalam ransel. Itu menjadi sebuah alarm bagi Seungwoo.

"Marah ya? Sorry deh. Anggap ajah gue gak pernah tanya hal itu," ucap Seungwoo cepat.

Jinhyuk mengernyit. Ia menutup resleting ranselnya lalu sedikit memindahkannya untuk memberi ruang –agar Jinhyuk bisa ikut merebahkan kepalanya di atas meja batu itu. Sama seperti yang dilakukan oleh Seungwoo. Kini mereka saling memandang dengan jarak dekat.

Jujur, itu membuat telinga Seungwoo menghangat.

"Kenapa berasumsi terus sih?" tukas Jinhyuk yang melipat tangannya untuk menyanggah kepalanya.

"Abisnya lo agak susah ditebak. Takut nyinggung perasaan lo juga."

Jinhyuk mendesah pelan. Ia memperhatikan wajah Seungwoo. "Kenapa lo bersikeras pengen jadi temen gue? Terlepas dari rasa penasaran lo itu."

"Tau gak, gue bisa balikin pertanyaan lo itu. Kenapa gak boleh? Seungyoun sama Sejin ajah bisa temenan sama lo. Masa gue nggak boleh."

"Gue gak bilang gak boleh ya. Untuk urusan Sejin dan Youn, karena emang kita sekelas ajah."

"Jadi, kalo lo gak sekelas sama Sejin ato Youn, lo gak bakal temenan sama mereka?"

Jinhyuk terdiam sejenak. Sebenarnya bagaimana ia bisa berteman dengan Sejin dan Seungyoun bisa dikatakan seperti butterfly effect. Memang sedikit berlebihan, menurut Jinhyuk, menyamakan pertemannya dengan Sejin dan Youn adalah bagian dari efek kekacauan.

Tapi nyatanya hidupnya sejak dulu penuh dengan kekacauan. Bahkan rasanya, Jinhyuk tidak pernah terpikir kalau dia juga bisa berteman dengan Choi Byungchan yang berisik tapi sensitif dan Kim Wooseok yang terlihat kalem tapi bisa galak.

Jinhyuk bahkan sering-kali mengkhayal bagaimana hidupnya berjalan jika bunda tidak meninggal atau jika dia harus ikut tinggal bersama papa setelah perceraian. Atau lebih buruk, setelah bunda meninggal, Jinhyuk malah dibawa ke panti asuhan. Maka semua hal yang dimiliki Jinhyuk saat ini tidak akan pernah diraihnya.

Termasuk bertemu dengan Han Seungwoo.

"Kok diem? Gak mau dijawab, ya?" ucap Seungwoo menyadarkan lamunan Jinhyuk.

Jinhyuk tersenyum tipis. "Kalo bunda gak meninggal, sampe hari ini pun gue mungkin masih tinggal di Yeosu. Gak bakal ketemu sama kalian," ia menjawab seadanya.

Seungwoo terbelalak. Tidak siap jika Jinhyuk malah membawa bundanya ke dalam pembicaraan mereka ini. Toh, awalnya Seungwoo hanya bertanya apakah mereka bisa berteman. Tapi kenapa rasanya malah jadi pembicaraan yang rumit?

"Kok..? Jadi, nyangkut ngomongin bunda."

Jinhyuk masih tersenyum pada Seungwoo. "Iya. Coba ajah bayangin, kalo bunda terus sehat, mungkin gak gue bakal dibawa bokap ke Seoul dan bahkan gak bisa kuliah di SNU."

"Bisa ajah. Kan gak ada yang tau. Dan beliau masih bokap lo, walaupun orang tua lo cerai. Bisa ajah dia mau kasih pendidikan yang layak buat lo."

"Terus gue pindah ke Seoul dan ninggalin bunda sendirian di Yeosu?"

Seungwoo terdiam lagi. Tentu saja, Jinhyuk tidak akan pernah meninggalkan bundanya sendirian.

"Han Seungwoo, di dunia ini emang selalu ada banyak kemungkinan. Bahkan sedikit chaos, hidup lo bakal berubah total. Kayak butterfly effect gitu. Pas bunda meninggal, waktu itu pilihan gue cuma dua. Pertama, bokap bawa gue ke Seoul dan tinggal sama dia dan keluarga barunya. Kedua, bokap bawa gue ke panti asuhan karena dia gak mau ngurus gue. Entah nanti gue bisa diadopsi atau gue bakal tinggal di panti sampe umur tujuh belas tahun dan harus keluar panti dan kerja apa ajah buat hidup."

Portrait of YouWhere stories live. Discover now