67. Give Up

346 66 34
                                    

"Tidak semua anak bisa menerima jika dibandingkan dengan yang lain, termasuk aku. Aku adalah aku, bukan dia ataupun mereka. Ku mohon berhentilah. "

-Zahra Namira-

Happy Reading

Warning

***

Ia mengenakan seragam kebanggaannya berwarna biru terang dengan logo unik yang dimiliki sekolahnya, Treksa. Salah satu mimpi yang tercapai dan sempat menjadi urutan atas di dalam catatan impiannya. Sudah hampir tiga puluh menit ia menghabiskan waktu hanya untuk memandangi diri di depan cermin besar bercorak bunga.

Mata sayu, rambut hitam kelam rapi, ia sisir dengan perlahan. Senyumnya hilang, tertinggal jauh disudut hati yang tak bisa tergapai. Perlahan ia ambil tas dan bukunya lalu keluar dari ruangan paling nyaman dalam hidupnya. Ya, tak ada lagi ruang yang mampu membuat Zahra tenang, selain kamarnya.

Zahra menuruni satu persatu anak tangga menuju ruang makan. Ia harus datang tepat waktu sebelum menerima celotehan kecil dari sang ibu yang menghardiknya tidak bisa menghargai waktu. Lingkaran bawah matanya terlihat hitam. Ia belajar sampai pukul empat pagi untuk menghadapi ujian naik tingkat di tempat lesnya. 

Zahra menghentikan langkah seraya mengecek pukul berapa ia sampai. Ia melihat ruang makan sudah terisi oleh ayah, ibu dan kakak perempuannya. Dengan sedikit gugup, ia melanjutkan kembali langkahnya yang sempat tertunda. Ia tidak terlambat, percaya dirilah.

"Selamat pagi," sapanya menarik salah satu kursi di seberang Ibu dan kakaknya.

"Kusut banget itu muka," canda Tania kepada adiknya. Zahra hanya menarik satu senyuman tipis lalu mengambil roti dan selai favoritnya, nanas.

Ia tidak mengikuti obrolan ringan antara keluarga kecil yang terlihat bahagia di depannya itu. Tania terus mendapatkan pujian dari ayah dan ibunya atas kesuksesan peluncuran produk terbaru di perusahaan kakaknya. Tania memang luar biasa, Zahra mengakui hal itu.

Ia mengunyah roti dengan selai nanas di dalamnya tetapi tak ada yang ia rasakan, semuanya hambar sesuai gambaran hatinya saat ini.

Enam tahun sudah ia menjalani hidup dengan penuh kedisiplinan. Menjadi orang memiliki ambisi kuat untuk menjadi yang terdepan. Ia harus rela membuang waktu remajanya hanya untuk mendapatkan gelar juara pertama di setiap buku rapor itu keluar.

Ia mampu melewati itu semua dan menelan rasa pahit tanpa bisa ia saring terlebih dahulu. Semua mengalir begitu saja. Namun, akhir-akhir ini Zahra merasakan sesuatu yang berbeda. Ia tak memiliki power untuk melanjutkan perjalanannya untuk mempertahankan tahta. 

Sejak ia diterima di sekolah swasta favorit itu, Zahra merasakan tekanan yang berat saat ia harus dipertemukan dengan seorang Dirga Reifansyah. Ia ditaklukan tanpa memiliki kesempatan untuk berperang. Pria itu berada jauh di depan Zahra dalam hal kemampuan materi juga olahraga.

Hal tersebut menjadikan Zahra sebagai nomor dua peringkat paralel selama kurang lebih tiga semester. Belum sempat ia mendaki dan menyalip Dirga, ia kembali di luluh lantakan oleh kedatangan seorang murid yang berada di level yang berbeda dengan Dirga apalagi dengan Zahra. Membuat gadis itu akan menyandang peringkat tiga di penghujung semester.

Ia benci kalah. Lebih dari apapun juga. Tetapi, ia lebih membenci orang yang menganggapnya pecundang. Ia tidak menyukai saat ayahnya mengatakan jika ia adalah produk gagal. Takada satupun yang mengerti dirinya, disaat ia telah belajar tiada henti hingga darah mengucurdari hidungnya. Ia bahkan rela tidak menghadiri acara-acara sekolah sebagai satu-satunya hiburan yang bisa ia kunjungi.

Semua Tentang Kita (STK) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang