42. Bidadari

431 142 148
                                    

***

Menjadi sosok paling berisik adalah salah satu cara agar orang-orang tidak mengusik privasi kehidupannya. Begitulah yang dijalani Savina jalani hingga kini. Sosok teman yang paling mengesalkan di mata Indri, Ivana dan Aileen.

Ia berjalan dengan begitu santai di atas rerumputan hijau. Hari ini ia mengenakan baju serba putih dilengkapi kaca mata hitam yang membuat Savina terlihat sedikit bergaya. Sudah lama ia ingin mencoba style seperti ini untuk menunjukkan rasa hormatnya kepada yang di cinta.

Namun, ia baru bisa datang hari ini. Bukan karena ia malas tetapi ia terlalu sibuk menata hati untuk memberanikan diri datang sendirian ke tempat yang paling ia tidak sukai seumur hidupnya.

Ia berjalan dengan hati-hati karena tanahnya cukup licin. Gundukan tanah terlihat sepanjang area perjalanannya. Ia berhenti di salah satu gundukan tanah dikelilingi keramik putih serta ditandai oleh batu nisan berwarna kebiruan. Ia sedang berada di pemakaman.

Savina berjongkok seraya menaruh sebuket bunga lily yang ia beli dalam perjalanan ke makam. Tak lupa, sebotol air ia sebarkan di atas gundukan tanah yang bertuliskan nama orang yang paling ia kasihi sepanjang masa, Ibunda Savina.

"Bund," panggilnya.

"Savina dateng."

Ia tersenyum lirih di balik kacamata hitam yang menyembunyikan eskpresi wajahnya.

"Butuh keberanian ekstra untuk Savina bisa kemari. Savina benci membayangkan masa lalu yang hampir merenggut nyawa Savina sendiri."

"Kehilangan bunda yang paling Savina sayang."

"Kok Save kangen banget ya sama bunda?"

"Bidadari harusnya tidak punya rasa rindu kan ya? Apa Savina sudah terlanjur beradaptasi dengan baik di bumi?"

"Atau karena patah hati itu bisa mengubah seseorang termasuk bidadari kayak Savina?"

"Savina patah hati, Bund. Jatuh cinta sama senior paling sempurna tapi sebelah tangan. Jatuh cinta lagi sama temen seangkatan yang menjabat jadi ketua OSIS tapi ditikung sahabat sendiri."

"Apakah bidadari seperti Savina tidak boleh merasakan cinta di muka bumi?"

Ia memeluk batu yang menjadi penanda keberadaan ibunya saat ini. Terasa keras dan dingin. Terkena sinar matahari juga semburan air hujan.

"Dingin banget, Bunda."

***

Setelah dari pemakaman, Savina dengan terburu pergi ke rumah Indri karena telah dihubungi beberapa kali oleh monster berbentuk manusia yang sial-nya adalah sahabat Savina.

Ia berdiri di pintu gerbang rumah Indri, melihat ke kanan dan ke kiri terlihat begitu sepi. Ia mengira teman-temannya sudah pulang duluan. Ia kembali menatap jam yang melekat di pergelangan tangan kirinya. Masih jam dua siang, itu artinya ia hanya terlambat satu jam.

"Kemana aja?"

Savina terperanjat saat suara berat itu terdengar sampai ke telinganya.

Ia mengelus dadanya menenangkan diri dari keterkejutannya. "Bisa gak sih gak usah kayak hantu."

Indri bersedekap, "Kok lo yang sewot? Ada juga gue yang marah. Kenapa telat?"

Savina mengibaskan rambutnya ke belakang memasang wajah angkuh di depan Indri.

"Biasalah!" jawabnya begitu santai lalu ia menghadap ke arah Indri. "Bidadari banyak schedule. Tadi abis ke kuil, berdoa dulu."

Satu dorongan mulus Savina dapatkan dari Indri.

Semua Tentang Kita (STK) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang