***
Aidan dengan tumpukan berkas di meja belajarnya. Ia tengah mempelajari sinergi bisnis ter-update agar bisa menguasai pasar. Ayahnya baru saja memberikan mandat bahwa Aidan harus menang tender yang akan diadakan pada hari Senin siang.
Bagi Aidan, mandat itu adalah tantangan yang harus ia hadapi sebelum ia bisa menjadi kepala keluarga selanjutnya.
Ia menyeruput kopi buatan adiknya, Aileen. Sedikit dengan paksaan karena adiknya paling anti disuruh-suruh olehnya.Namun, bagi Aidan itu suatu kesenangan tersendiri baginya mengingat ekspresi marah adiknya itu teramat lucu.
Satu lembar terakhir ia buka dan baca. Ada beberapa hal yang tak ia pahami, namun secara keseluruhan ia mengerti apa yang harus ia lakukan saat hari penentuan. Mungkin, ia harus sering berdiskusi dengan Raka atau Aldi karena dua orang temannya itu memiliki pengalaman lebih banyak daripada Aidan tentang dunia bisnis.
Ayahnya, David Ali Mahardika, terlalu sibuk dengan tugasnya sebagai pemangku jawaban di salah satu kursi DPR sampai Aidan harus turun tangan untuk mengawasi perusahaan yang telah papanya bangun sebelum ia berkecimpung di dunia politik.
Aidan memang tidak diwajibkan untuk melanjutkan usaha yang telah keluarganya bangun seperti Aldi yang berstatus sebagai anak tunggal. Ia diberi kebebasan memilih masa depan yang menurutnya baik untuk dirinya sendiri. Aidan hanya bermaksud meringankan sedikit beban sang ayah yang harus terlibat dalam dua kegiatan sebelum memiliki orang kepercayaan yang bisa mengurus semuanya sesuai keinginan keluarga Mahardika.
Aileen masuk tanpa permisi, membuat Aidan menoleh ke belakang. Gadis itu mengenakan kaos bear berwarna merah selutut lengkap dengan celana pendek yang sedikit lebih panjang dari kaosnya.
Ia berjalan menuju laci di nakas milik kakakny tanpa menyapa sang pemilik ruangan.
"Cari apa?" tanya Aidan melanjutkan membuka lembaran berkas selanjutnya.
"Power bank gue, Kak."
"Di tas gue, Leen."
Aileen menegakkan kembali badannya yang membungkuk lalu melirik tas Aidan yang menggantung di dekat pintu.
Aidan memperhatikan adiknya yang terlihat mengenakan tas kecil yang sering ia bawa saat hendak pergi keluar rumah.
"Mau pergi kemana?"
Aileen menoleh. "Main."
"Kemana?" tanya Aidan kembali bermaksud memastikan.
Aileen terlihat menghela napas panjang merasa sedikit jengkel dengan kakaknya.
"Kepo banget sih tumben."
Aidan tertawa pelan, bukannya menjawab ia malah mengatai Aidan kepo.
"Sama Darel, ya?"
Pertanyaan itu otomatis menghentikan kegiatan Aileen, "Kok Darel sih?" protesnya sebal.
Aidan mengangkat kedua bahunya.
"Abis main rahasia-rahasiaan. Pasti mau main sama cowok," tuding Aidan tersenyum kepada Adiknya. Namun Aileen merasa, ia sedang di intimidasi oleh kakaknya sendiri.
"Dari sekian banyak cowok, ya kenapa harus nyebut Darel gitu Kak?" ujarnya mendelik.
"Karena Darel yang bilang dia pacar lo," kata Aidan bersender di kursi hitamnya. Terlalu lama membaca membuat bahunya sedikit pegal.
"Hah? Serius dia bilang gitu? Ih nyebelin banget jadi cowok." Aileen terlihat meremas power bank yang kini telah ia genggam. "Nembak aja gak pernah," bisiknya tetapi masih bisa Aidan dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua Tentang Kita (STK) ✔️
Teen Fiction(DILARANG MELAKUKAN COPY DALAM BENTUK APAPUN TANPA IZIN) SELESAI -78 CHAPTER. Kalian tahu apa yang paling menyakitkan dari sebuah perpisahan? Mengenang. Yah, proses mengenang adalah hal terburuk yang pernah ada. Karena mengenang selalu menyeret k...