43. Hope

1K 180 156
                                    

Malam yang semakin larut, ditemani oleh rintikan salju tak membuat sekelompok manusia berbagai usia dan gender terlelap dalam tidurnya. Malam yang seharusnya waktu untuk melepaskan kepenatan terhadap hiruk-pikuk dunia, justru membawa perubahan besar pada identitas dari waktu cahaya bulan merekah itu sendiri. Tidak dapat mereka temukan ketenangan di waktu mimpi seharusnya mereka jelajahi. Semua definisi dari malam, seolah diputar balikkan oleh kejadian yang mengguncang sanubari. Kematian dari salah satu mereka, menjelma menjadi godam dan menghantam ketenangan dari masing-masing insan. Terutama bagi 3 orang yang merasa paling kehilangan diantara mereka semua. 3 orang yang sudah terikat secara batin oleh dia yang telah meninggalkan mereka. Ikatan yang kuat, sampai rasanya kematian dari salah satu diantara mereka adalah awal dari runtuhnya hidup mereka.

"Mereka masih tidak mau masuk?" Tanya Soobin sambil mengeratkan mantel yang dia pakai.

Bangchan menggeleng. "Mereka masih teguh untuk berdiri di sana."

"Aku khawatir, bila mereka akan jatuh sakit jika tetap berdiri di sana. Udaranya sangat dingin, meski mereka telah memakai mantel tetap saja, berdiri di depan sana bukanlah hal yang baik." Ujar Lino.

Mereka semua terdiam. Memang benar, berdiri di depan jendela ruang medis sedangkan udara luar begitu dingin bukanlah hal yang baik. Tetapi, apa yang bisa mereka lakukan? Membujuk mereka untuk masuk? Bahkan Jaemin dan Jisung yang paling dekat dengan mereka saja tidak bisa berbuat apa-apa.

"Yang mereka inginkan adalah Chaeryeong. Mereka tidak akan pernah mau beranjak dari sana sebelum Chaeryeong membuka matanya." Tegas Jaemin yang sudah kehabisan akal untuk membujuk Lia dan Yuna masuk.

"Tapi, tidak bisakah kita memaksa mereka? Setidaknya jangan biarkan mereka berdiri seperti patung di depan ruang medis seperti itu. Mereka bisa saja mati kedinginan." Geram Lino yang tak tahan dengan semua ini.

"Kalau begitu kau coba saja sana, bujuk mereka berdua. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan hanya berdoa pada Tuhan. Semakin cepat Chaeryeong bangun, maka semakin mudah membujuk mereka untuk masuk." Setelah sekian lama tidak bersuara, Jisung akhirnya berkomentar. Sama seperti Jaemin, Jisung juga sudah kehabisan akal untuk membujuk Yuna. Berkali-kali Jisung mendapatkan penolakan dari Yuna. Hingga puncaknya, Yuna menodongkan pisau berlumur darah ke arah Jisung.

"Baik, akan aku lakukan sendiri. Jika saja aku tahan dengan cuaca dingin ini, sudah dari tadi ku seret mereka untuk masuk. Senior Bangchan, kau dekat dengan Yuna. Mungkin jika kau yang membujuknya, Yuna akan mau mendengarkanmu." Kata Lino yang mendapatkan respon anggukan dari Bangchan.

"Ayo!"

Bangchan dan Lino membuka pintu depan. Dan bisa mereka lihat, Yuna dan Lia yang masih berdiri di depan jendela ruang medis sambil mengeratkan diri mereka pada mantel yang mereka kenakan. Lino heran, bagaimana caranya mereka bisa bertahan dari dinginnya malam bersalju seperti ini? Padahal, dia yang baru keluar saja rasanya sudah tidak kuat dan ingin menyerah saja. Sebegitu pentingnya kah Chaeryeong, sampai-sampai mereka mengabaikan kondisi mereka sendiri.

"Lia-ya, ayo masuk!" Lino menggenggam pergelangan tangan Lia dan berniat untuk menyeretnya.

"Tidak! Aku ingin melihat keadaan Chaeryeong." Lia melepaskan tangan Lino dari tangannya.

Lino menggeram kesal. Dia sudah sangat tidak kuat dengan udara dingin ini. Dia bersumpah, bila Lia masih tidak mau masuk juga setelah 2 menit maka dia akan menyeret Lia untuk masuk tidak peduli kasar atau tidak tindakannya. Itu semua juga untuk kebaikan Lia.

"Lihatlah tanganmu Lia! Kau membeku. Jangan keras kepala, kita tunggu saja kabar dari Ryujin di dalam. Tidak ada gunanya kau berdiri seperti tunawisma di sini." Omel Lino dan meraih tangan Lia lagi.

No More HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang