Sam berlarian di lorong rumah sakit seperti beberapa bukan yang lalu. Jas yang sudah terbuka menampilkan tubuh atletis yang dibalut kemeja putih seketika terlihat. Kabar mengejutkan dari bunda Nia membuat Sam langsung terbang dari New York ke sini, untung saja pesawat sedang tidak ada yang memakai.
Yah, tiga hari sebelum ini Sam terbang ke New York untuk menjalankan bisnisnya. Tetapi, baru hari kedua ia berada di New York sudah ada kabar mengejutkan dari Nia. Dan sebelum ia terbang ada tangisan dari sang istri terlebih dahulu.
Flashback on ....
"Sam! Kamu dah gak sayang sama aku?"
Sam berusaha memeluk Dyba, tetapi wanita itu malah memundurkan tubuhnya. "Sayang, pahami aku. Aku kerja juga untuk kalian kan? Ini proyek besar, keuntungan bisa buat perusahaan makin luas jangkauannya Dy."
"Tapi anak kamu udah mau lahir Samudera!"
Sam menarik tangan Dyba dengan kuat, membuat tubuh itu langsung menempel dengan tubuhnya. Jari-jari Sam mengelus lembut pipi Dyba. "Sayang, aku gak sampai satu minggu di sana."
Dyba memalingkan wajahnya. "Lebih penting perusahaan ya dari pada aku?"
Sam mengusap wajahnya kasar. "Dy ... kalau kamu tanya itu ya jelas jawabannya lebih penting kamu! Tapi, kamu ngertiin aku untuk kali ini aja, perusahaan udah 100% tanggung jawab aku, aku gak bisa nyuruh papa atau bang Agam ke sana, apalagi ini proyek besar. Janji paling lama aku lima hari, lima hari Dyba, cuma lima hari. Perkiraan dokter juga masih ada dua minggu kan? Aku minta cuma paling lama lima hari aja sayang aku ke sana."
"Tapi kalau anak kamu lahir sebelum tanggal perkiraan dokter gimana?"
Sam menatap serius Dyba. "Aku langsung pulang."
"Janji?"
Sam memajukan tubuhnya, tangannya membungkai wajah Dyba. Matanya menatap serius iris mata Dyba. "Pegang janjinya Sam. Kalau aku bohong kamu boleh minta apa aja ke aku, apapun tanpa terkecuali."
Dyba luluh, ia dengan berat mengangguk. Kepalanya ia sandarkan di dada Sam. "Aku cuma takut Sam, ini lahiran pertama, terus kemarin aku pernah keguguran, aku takut Sam kalau kamu gak ada di samping aku nanti."
Sam memeluk tubuh Dyba. "Iya, aku bakalan ada di samping kamu. Tenang sayang, jangan stress."
Dyba mengangkat kepalanya dari dada Sam, ia mengacungkan jari kelingkingnya. "Five days?"
"Yes, i promise just five days."
Flashback off ....
Sam membuka pintu ruangan gang telah diberi tahu Nia sewaktu di telepon tadi dengan keras hingga mengangetkan beberapa orang yang ada di sana. Tak peduli ada ayah bunda Dyba dan papa mamanya, yang ia pedulikan hanya wanita yang menatapnya dengan lelehan air mata di pipi.
Sam memeluk tubuh Dyba yang tengah berbaring. "I'm here honey. Aku tepatin janji aku, jangan mikir yang aneh-aneh lagi, aku udah di sini."
Dyba memukul dada Sam. "Sakit tau perut aku! Ini gimana?!"
Sam mencium perut Dyba yang terlapisi baju biru khas pasien. "Anaknya ayah mau lahir ya? Udah gak sabar ya liat dunia? Bentar ya sayang, sebentar, jangan buat bunda kesakitan."
Bagai mantra ajaib sakit di perut Dyba sedikit berangsur pulih. Dyba menatap Sam yang masih berbicara dengan perutnya, ah ternyata ikatan batin ayah dan anak lelaki emang tidak bisa dipisahkan.
"Sayang, masih sakit?"
Dyba menggeleng. "Udah enggak, tapi aku mau dipeluk kamu."
Sam mengangguk, ia melepas jas hitamnya. Saat akan menaruh jas di sofa ia menyengir melihat tatapan ayah dan papanya yang seakan membunuhnya. "Yah, Pa, Sam dah di sini, matanya biasa aja," ucap Sam sambil menyalami tangan kedua orang tua itu. Kemudian Sam menyalami tangan Nia dan Nita.
"Sam ...."
"Iya, iya sayang." Sam menarik tangannya dari genggaman kuat Nita. Ia mulai naik ke atas ranjang pasien dan memeluk tubuh Dyba.
"Kalau gitu ayah sama bunda pulang dulu mau nyiapin perlengkapan dedek bayi sama Dyba. Kalau ada apa-apa langsung telpon. Dyba belum ada pembukaan, tadi cuma tanda-tanda sebentar lagi bakalan lahir."
"Iya, Bun, makasih."
Setelah Nia dan Difki keluar dari ruangan Dyba, Nita dan Andrew mendekati ranjang Dyba. Mereka melihat Dyba yang memeluk leher Sam dengan manja dan sudah bernafas dengan teratur.
Nita menjewer telinga Sam yang membuat Sam membulatkan matanya. "Mama!" pekiknya tertahan.
Nita menjulurkan lidahnya. "Balasan untuk suami macam kamu. Mama sama papa mau keluar dulu, dijagain istrinya, jangan ditinggal lagi. Udah anak mau lahir malah ilang!"
Sam mencibikkan bibirnya. "Kan Sam juga pergi demi perusahaan."
"Diem! Gak usah bantah orang tua! Pokoknya jagain mantu mama, jangan sampai kamu tinggal lagi! Jangan lupa telpon mama kalau ada apa-apa, mama cuma sebentar juga sih perginya." Sam hanya mengangguk.
Saat pintu ruangan Dyba tertutup lagi, pelukan Dyba di lehernya melonggar. Sam menunduk dan menemukan mata Dyba yang terbuka. "Kenapa sayang?"
"Perasaan aku gak enak Sam."
"Kenapa emangnya?"
Dyba menggeleng. "Gak tau. Aku minta maaf ya sama kamu karena aku udah minta banyak sama kamu."
Tangan Sam mengelus pipi Dyba. "Hei, ngomong apa sih? Kan aku dah bilang, kebahagiaan kamu adalah tujuan utama aku."
"Kalau misalnya nanti ada dua pilihan antara aku sama adek, pokoknya kamu harus milih adek ya."
Mata Sam membulat. "Apa-apaan sih kamu? Jangan ngomong yang aneh-aneh deh Dy! Aku ya jelas milih kalian berdua."
Dyba tertawa hambar. "Kan cuma misalnya. Pokoknya kamu harus milih adek, aku gak mau jadi ibu yang gagal untuk kedua kalinya."
Sam bangkit, ia menatap Dyba dengan penuh tanda tanya. Jujur, mendengar Dyba berkata seperti itu membuat tubuh Sam seketika merinding.
"Dyba, sayang, jangan ngomong yang aneh-aneh ya, sekarang kamu bobok biar nanti ada tenaga untuk ngelahirin adek."
Dyba tersenyum, senyum yang sangat manis hingga membuat dada Sam berdesir. Sam memeluk kepala Dyba, membenamkan wajah yang tengah tersenyum manis itu di dadanya. "Bobok, Sam di sini."
"Sam, cium aku dulu sebelum aku bobok."
Sam mendekatkan wajahnya dengan wajah Dyba. Mencium kening Dyba dan dinginnya wajah Dyba langsung membuat Sam melepaskan ciumannya. "Kamu kedinginan ya? Aku turunin aja ya AC nya?"
Dyba menggeleng. "Enggak kok. Aku maunya di bibir bukan di kening."
Sam memajukan wajahnya, matanya menelisik ke wajah Dyba yang terlihat lebih berseri. Ia memejamkan matanya, wajah Dyba tampak berbeda. Bibirnya akhirnya menempel di bibir Dyba, melumat bibir dingin Dyba dengan pelan dan lembut. Deru nafas Dyba terasa lebih panas dari pada sebelum-sebelumnya. Saat ini hanya satu yang ada di dalam do'anya.
'Ya Allah, selamatkanlah istri dan anak hamba. Jangan engkau mengambil mereka berdua dari hamba.'
***
Sampai jumpa di part selanjutnya
(❁´◡'❁)Jangan lupa vote dan comment
Terima kasih yang udah mau baca, vote, dan comment ceritaku ♡♡04 Januari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
DySam (After Marriage) [Selesai]
Teen Fiction[Sequel Possessive Samudera] (Disarankan untuk membaca Possessive Samudera terlebih dahulu biar bisa nyambung) Kisah awal hubungan Samudera dan Adyba tidak hanya sampai di kisah itu. Saat ini, mereka tengah merasakan hiruk pikuk rumah tangga yang s...