14. Kita Punya Jiwa

1.2K 342 92
                                    

Gara-gara ucapan Mark, tanpa bermaksud menyalahkan, Jeno jadi menurunkan kewaspadaannya.

Mark bilang lantai 2 sudah "bersih", jadi Jeno tidak berekspektasi akan menghadapi satupun zombie. Dan ia memang berharap begitu, berharap bekal pisaunya hanya akan jadi formalitas belaka, yang lalu bisa ia kembalikan tanpa noda pada Haechan.

Tapi Jeno lupa, bahkan saat berlari di lingkungan rumahnya yang ia hafal di luar kepala, ada saja berbagai rintangan yang menghadang一entah itu anak kecil yang mondar-mandir di jalurnya, pelari lain yang numpang menyebrang, atau remaja yang melintas sembarangan.

Bermacam-macam orang, semua mengajarinya 1 hal; jalanmu tidak selalu mulus, kamu harus membuka mata lebar-lebar.

Bisa-bisanya ia lupa pada pelajaran itu?

Zombie dokter yang agaknya kelaparan menubruknya dengan kekuatan seperti truk, membuatnya tumbang di samping mayat yang dari puncak kepala sampai dada tertutup sebuah jaket tebal. Jeno jatuh, dokter itu tepat di atasnya. Normalnya, meski usia si dokter setidaknya 2 kali lipat umurnya, Jeno lebih kuat. Tapi zombie itu dikuasai nafsu sedangkan Jeno dicengkeram rasa ragu.

Jeno mengenalnya.

Dokter Lee Minji yang cantik pernah jadi fenomena di awal penugasannya. Ada banyak teman-temannya yang dulu berpura-pura sakit hanya untuk melihatnya dari dekat. Tapi selain paras ayu itu, Jeno menyukainya karena dia baik, selalu baik, tak terkecuali pada siswa-siswa iseng yang terdorong perubahan hormon.

Jiwa yang sangat mulia itu, di mana dia sekarang?

"Dokter一"

Ucapan Jeno dipotong, tidak dengan kata-kata, melainkan usaha mematikan si dokter merobek tenggorokannya.

Jeno tersentak kaget, menyadari betapa bahayanya akibat dari tindakan itu. Buru-buru dia meraba tempat dia menyimpan pisaunya lantas mengarahkan ujung tajam mengkilapnya ke kepala Lee Minji. Sayangnya dokter itu berkelit一sigap dan cakap一dan melakukan aksi susulan dengan semakin gencar mencakar wajahnya.

Jeno telah melihat efek cakaran zombie. 1 goresan saja dan hidupnya tamat. Bukankah Jaemin sudah memperingatkannya? Bukankah ini yang saudaranya takutkan? Tidak. Semuanya tidak boleh berakhir seperti ini!

Semburan kemarahan tiba-tiba mengalir di seluruh pembuluh darah Jeno. Haechan dan Grace. Mark, Renjun dan Jaemin. Mereka berhasil, kenapa ia tidak? Kalau dia gagal, usaha teman-temannya akan sia-sia. Kalau ia gagal一

Tidak akan.

Kuku si dokter dan matanya berjarak beberapa senti saja. Luar biasa dekat, hampir mencapainya. Secara naluriah Jeno mendorong dokter itu, menggunakan lutut yang ia hantamkan pada perut. Di kehidupan sehari-hari ia takkan bisa berbuat begitu. Di situasi normal, ia takkan pernah memukul perempuan. Tapi kini tidak ada kehidupan sehari-hari yang normal, dan kemanapun jiwa dokter Lee Minji pergi, dia sudah tidak berada di sini lagi.

Orang di hadapannya hanyalah monster一tidak kurang, tidak lebih.

Kebimbangan Jeno lenyap. Terbakar. Musnah. Dia bangkit dengan cara berguling. Selagi zombie itu terkapar, dia menginjak punggungnya dengan kakinya yang paling dominan dan mengangkat pisaunya tinggi-tinggi di atas kepala.

Napas Jeno tersengal-sengal. Butiran-butiran keringat turun membasahi keningnya. Jeno mengeratkan pegangannya pada gagang pisau, merasakan teksturnya yang solid dan pas di genggaman. Jaemin benar; ini bukan saatnya bertingkah sok keren.

Pilihannya hanya di makan atau melawan.

Jeno memaksa matanya tidak berkedip meski ia ingin. Dia harus melihat, harus membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia bukannya laki-laki tanpa nyali.

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang