Badai bernama Amukan Haechan sudah mereda, tapi ketegangannya一sisa-sisa kerusakan yang belum dibereskan一masih enggan beranjak pergi.
Mark Lee duduk termenung di teras, lari dari konflik di dalam rumah yang terlampau rumit. Jari-jarinya dirapatkan menjadi 1 selagi ia memikirkan hal yang lebih penting; hakikat kehilangan. Katanya, kita takkan bisa memahami sesuatu, misalnya kesedihan dan duka, kecuali merasakannya sendiri. Tapi peristiwa paling traumatis yang pernah terjadi pada Mark hanya kematian neneknya saat ia masih terlalu kecil untuk mengingat.
Setelah itu, berturut-turut, kehilangan yang ia alami tak lebih dari benda-benda remeh yang penggantinya mudah di cari; pulpen, sisir, kaus tim sepak bola favoritnya.
Tidak pernah seorang teman一ini pengalaman baru baginya.
Terlebih 2 orang teman.
Siapa yang harus disalahkan di sini? Jisung? Jaemin? Atau dirinya yang mengirim mereka keluar tanpa persiapan yang memadai?
Setengah jam berlalu, tapi jawabannya tidak kunjung muncul. Mark memungut kerikil di kakinya dan melemparnya ke tong sampah. Persetan!
"Mark-hyung?" Suara berisik yang ia timbulkan rupanya mengundang Jeno, bukannya kawanan zombie.
Mark mendongak, tidak menawarkan penjelasan atas tindakannya.
Jeno duduk di sebelahnya. "Haechan masih ngamuk soal Grace. Dia nuntut pengen tahu semuanya, dan bilang mau cari Grace sendiri karena menurutnya orang lain nggak becus. Apa kita ikut nyari pakai kendaraan terpisah? Atau bujuk Haechan supaya mau 1 mobil?"
"Aku nggak tahu, Jeno."
Mengapa Jeno bertanya padanya? Mengapa orang lain mengandalkan dia di saat Mark kadang-kadang ingin balik bersandar dan mengistirahatkan pikirannya yang penuh beban? Pasti enak kalau begitu, tidak usah pusing memikirkan segala resiko dari perkataannya dan terbebas dari rasa bersalah.
Jeno, sosok yang Mark anggap paling stabil sekaligus dewasa di kelompoknya menghela napas. "Aku minta maaf tentang Jaemin, tapi aku yakin andai ada peluang sedikit aja dia bisa nolong Grace dan Renjun, dia pasti nggak akan kabur kayak pengecut. Jaemin itu banyak hal, tapi pengecut bukan salah satunya."
Mark masih tidak menoleh. "Aku nggak nyalahin Jaemin."
"Itu ... Bagus." Jeno sepertinya bingung harus berkata apa lagi.
Mark pun sadar, tidak seperti biasanya, dia bersikap dingin dan tidak semestinya pemimpin bertingkah seperti ini. Namun untuk sementara ia ingin melepas gelar itu dan sekedar menjadi ... Mark saja. Tidak kurang, tidak lebih. Dia tidak mau berkata, "Nggak apa-apa, nggak masalah." Karena ini bukannya tidak apa-apa dan jelas merupakan masalah.
Saat itu, Mark bukan pemimpin, dia tak lebih dari pemuda normal yang baru saja kehilangan gadis yang ia kenal selama 3 tahun.
Dan Renjun ... Mark belum lama berteman dengannya, tapi sejak awal, Renjun yang menghadapi konflik dengan berdiri di sisi netral, tak pernah protes ketika diberi tugas, dan tidak suka mengeluh, sudah membuat Mark menyukainya.
Sekarang mereka tidak ada.
Mungkin malah sudah mati.
Jangan kira Mark tidak tahu. Dia mendengar setiap kata keterangan Jaemin, secara lengkap tanpa ada yang terlewat, sebab Jaemin bicara dari ruang duduk, yang hanya dibatasi sebuah pintu dari lokasi Mark melamun. Bedanya, Haechan berkomentar, sedangkan Mark diam. Kemarahan Mark adalah jenis awan hitam yang datang menggandeng kebisuan, mencekam dalam keheningannya.
Seolah tahu sedang dipikirkan, Haechan berjalan keluar dari rumah membawa kunci mobil, melangkah tegap ke kendaraan itu.
Mark membuat keputusan cepat dan menyusulnya. "Aku ikut, Haechan."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...