Sang iblis merangkak dari dasar neraka
Tempat penderitaan adalah hal biasa
Bahkan disebabkan olehnya
Tak ada ruang bagi sukacita
Iblis itu mengubah tawa menjadi sedu sedan
Dan jika tidak berhati-hati
Kau akan mendapati dirimu berada di kakinya
Hanya menunggu ditimbun dengan tanah.Kim Aru belum mati.
Salah satu iblis dari neraka kini tengah berdiri dengan bertumpu pada lututnya, punggungnya melengkung seperti busur panah. Berharap Aru mati rupanya terlalu indah untuk jadi nyata. Dadanya naik-turun perlahan, teratur, seakan meneriakkan ejekan. Bibirnya yang menyeringai menegaskan ejekan itu dalam bentuk untaian kata-kata. "Kapten! Apa kabar?"
Beberapa hari tidak berjumpa, Aru masih sama seperti yang diingat Mark: indah dan kejam. Menawan dan menyeramkan. Setidaknya enam mayat bergelimpangan di sekitarnya, tidak termasuk yang berada di halaman. Namun, tak sekali pun Aru melirik mereka.
Aru justru menoleh pada Mark, dan salah mengartikan kerutan di dahinya. "Jangan terlalu kecewa gitu. Nggak ada waktu buat penyambutan yang meriah." Dia tersedak tawa, kembali ke hobinya suka bicara. "Tapi kalau dipikir-pikir, bukannya nggak sopan masuk ke rumah orang tanpa izin?"
Enam orang rekan-rekannya yang tersisa mengangkat senjata mereka dan membidik kelompok Mark, masing-masing satu lawan satu. Mereka berbalik unggul. Adanya Aru membuat kepercayaan diri mereka bertumbuh.
"Jisung," kata Mark, tak berdaya di bawah todongan senapan yang diarahkan ke kepalanya oleh seorang pria berwajah tirus. Dia memegang lengan anggota timnya yang paling muda, meski sudah terlambat. Bahkan seandainya Jisung berhasil lolos, ke mana bocah itu akan pergi? Dengan apa?
"Ah, maknae!" Aru menyapa Jisung dengan lambaian tangan berlebihan. "Kamu ke sini buat ketemu kakakmu?"
"Dan mentornya," imbuh Rim, berlagak akan muntah. Mark kecewa pemuda berkacamata itu belum meregang nyawa. Dari pengalaman singkatnya menghadapi Rim, Mark tahu Rim akan sangat merepotkan.
Aru mengangguk, memakai jempol menggaruk alisnya yang sempurna. "Yap, mentor. Cowok yang matanya sayu itu bilang kamu muridnya. Grace dan Haechan. Aku suka mereka."
"Mana mereka?" Getaran yang tidak dikehendaki menyusup ke suara Jisung saat dia bertanya. "Apa mereka masih hidup?"
Yang diperbuat Aru sama saja dengan mengibas-ngibaskan sekerat daging segar di hadapan seekor anak anjing yang kelaparan, lalu menyembunyikan daging itu tepat ketika si anjing mendekat. Pertanyaan Jisung diabaikan, Aru membungkuk mengambil senjata milik rekannya yang tewas. "Coba kita lihat, semua orang ada di sini. Ada si pirang, Ryujin, si kelinci, dan si anjing liar. Lengkap. Ini kejutan yang nggak disangka-sangka." Dia menggeleng. "Sekaligus kesalahan besar."
Perubahan kedua datang dengan lambat di Arena. Mark merasakannya. Tiba-tiba saja dia sadar seseorang bisa marah dan tidak menunjukkannya. Dia mungkin tidak ahli membaca raut muka Aru, tetapi dia yakin pakar mikro ekspresi mana pun akan sepakat bahwa di balik ketenangan janggal dan seulas senyum ganjil itu, terselip kemarahan yang menggelegak. Aru marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
Fiksi PenggemarJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...