Mark Lee menyaksikan kepergian Grace dan Haechan dengan perasaan gelisah.
Sejuta tanya berkecamuk membuat gaduh kepalanya, dengan 1 yang paling menonjol yang seakan menjerit, apakah ini hal yang benar?
Mark tahu, berbagai kemungkinan bisa terjadi. Berbagai masalah bisa saja jadi batu sandungan yang mengubah hari yang indah ini menjadi hari penuh duka. Memasangkan Grace dan Haechan seperti bereksperimen pada bahan kimia yang belum teruji efek sampingnya.
Lantas, tepatkah keputusannya, dengan menyatukan api bersama api yang kemungkinan dapat membakar 1 sama lain?
Mark takkan tahu sampai mereka kembali.
"Ayo kita berangkat." Dia mengajak, pada Jaemin dan Renjun setelah mereka selesai mengantongi perlengkapan.
Maunya sih, dia mengatakan sesuatu pada Jisung, untuk menentramkan hatinya dan syukur-syukur kalau bisa membuat bocah itu tersenyum, tapi Mark terlalu takut menyalakan lampu harapan yang mungkin nanti padam menjadi kebohongan.
Tak perlu ucap selamat tinggal, atau kata-kata perpisahan yang mengharu biru, Mark sekedar mengangguk pada Jeno, yang lantas menutup pintu lab.
Bum.
Begitu bunyinya, seperti sebuah akhir yang berat dan getir.
Ketiga pemuda itu, yang sama-sama sedang berada dalam masa hidup paling canggung, sejenak termenung dengan mulut yang dibelenggu kebisuan, sebelum Mark mencoba merangkai candaan. "Siap jadi geng zombie slayer?"
Jaemin memutar bola matanya. "Nama yang payah."
"Yang penting udah usaha." Mark berkilah malu, mendongak ke deretan tangga yang akan mengantarnya ke lantai 2. "Mereka pasti udah nunggu kita, ayo."
"Sebentar." Renjun tiba-tiba menepuk pundak Mark. "Lihat itu."
Yang ditunjuk si pemuda China itu adalah ruang kesehatan一titik awal bencana di mulai. Pintu ruangan tersebut tertutup, tapi dari celah di atas dan di bawahnya samar-samar ada bunyi geraman yang tak mungkin berasal dari manusia.
Mark mengintip ke dalam, hampir terlompat mundur saat zombie gadis yang ia tolong menabrakkan dahinya ke daun pintu. Luka parah di sana menjadi bukti ia tidak hanya melakukannya sekali.
"Mereka nggak keluar?" Jaemin bertanya.
Yang dijawab Renjun dengan, "Entah mereka rabun parah atau terlalu tolol buat buka pintu itu sendiri."
"Grace bener." Mark bergumam. "Mereka jelas bukan makhluk-makhluk paling cerdas di dunia. Dan ini ngasih aku ide..."
"Apa?" Kedua rekannya serentak ingin tahu.
"Di lantai 2 nanti, dorong aja mereka ke kelas dan tutup pintunya. Toh, zombie itu nggak akan bisa buka kan? Itu keuntungan buat kita."
"Aku setuju." Dengan itu Jaemin mengangkat guntingnya dan mengangguk. "Silahkan pimpin jalannya, leader."
Leader yang malang itu mendengus. "Kenapa aku nggak suka sebutan itu di saat kayak gini."
Satu per satu anak tangga didaki, dengan keberanian yang dihimpun sebanyak mungkin. Susuran tangga itu berlapis darah一bukan pertanda yang positif. Jantung Mark berdebar kencang seperti kuda di arena pacuan. Darahnya mengalir deras seiring semburan adrenalin yang meningkat. Beberapa langkah lagi...
Mark memalingkan muka pada teman lama dan teman barunya. "Aku yang megang kelas pertama. Jaemin, kamu kedua. Dan Renjun, kamu ketiga, oke?"
Mereka mengiyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanficJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...