Sinyalnya lemah sekali.
Ini hal yang jarang terjadi. Korea Selatan barangkali punya banyak kekurangan yang meliputi rendahnya kepedulian akan kesehatan mental yang menyebabkan tingginya angka bunuh diri dan sedikit (atau banyak) masalah tentang rasisme, tapi sebagai salah satu negara maju yang menerapkan jaringan 5G, sinyal ponsel di sini biasanya selalu bagus. Bar sinyalnya tidak pernah turun serendah ini, bahkan di badai salju yang parah musim dingin lalu.
Mark, salah satu pengguna Android dengan antigores tidak sesuai yang tidak menutupi seluruh ponselnya, menepuk-nepuk benda itu saat panggilannya yang kesekian kalinya ke nomor orang tuanya tidak kunjung tersambung.
Mark paham, ada perbedaan waktu antara Korea dan Canada, tapi Ayahnya adalah orang paling teratur di dunia, yang kerap bangun sebelum matahari bersinar. Sedangkan ibunya, yang sering begadang mengerjakan tulisannya, punya kekuatan super untuk tetap bangun pagi walau tidur larut malam.
Seharusnya mereka mengangkatnya.
Ayo, Ayah.
Ayo, Mom.
Sekali lagi, Mark mencoba. Dia marah pada mereka, yang sejak kemarin harus pergi ke kampung halaman guna menghadiri pernikahan kerabat. Dia kesal, karena ia tak bisa ikut padahal dia menyukai Canada yang penuh daun maple, dan selalu terasa seperti rumah sejati baginya. Namun terutama, dia cemas. Sebagai anak tunggal, Mark mungkin terlalu bergantung pada mereka, tapi hanya orang tuanyalah yang ia miliki di dunia ini.
Lagi-lagi panggilannya tidak terjawab.
"Sialan, sialan, sialan!" Tidak bisa berteriak tanpa menimbulkan keributan atau lebih buruk lagi, disangka gila, Mark membanting sekop yang ia bawa.
Sebenarnya dia merasa konyol menenteng benda itu ke halaman sekolah tapi ia tak mau mengambil resiko yang tidak perlu. Mark ingin sudah siap saat ada monster yang mendatanginya, walaupun gerbang sekolah masih menjaga mereka tetap aman.
Setidaknya sementara.
"Wah, wah." Seseorang tertawa tertahan. "Si ketua kelas bisa ngomong kasar juga, ya?"
Mark terkejut, otomatis berputar mencari pemilik suara yang familier itu.
"Di sini."
Mark masih tidak melihatnya. Semua murid bila tidak berada di kelas pasti sedang di kafetaria atau ruang kesehatan, termasuk para guru.
"Di atas, bego."
Maka Mark mendongak, langsung bertatap muka dengan Lee Haechan yang duduk santai di dinding yang mengapit gerbang seolah itu adalah warung kopi, seolah tak ada tangan-tangan monster yang terjulur dari celah-celahnya yang bukan mustahil membahayakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanficJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...