Harta karun itu tergeletak di rak kedua lemari es yang sudah tidak menyala.
Masing-masing berbentuk bulat, dengan permukaan kulit tidak rata yang mirip batang pohon. Warnanya oranye cerah, seperti matahari mungil yang cukup sedap untuk disantap. Seluruhnya一sekitar setengah kilo一terbungkus rapi di kantong plastik putih yang mungkin berperan atau mungkin tidak menjaganya tetap segar.
Huang Renjun tersenyum sumringah, mengangkat buah-buahan yang ia peroleh dari hasil penjelajahannya. "Kalian nggak akan percaya apa yang aku temuin."
"Apa? Segepok uang?" Jaemin yang bertugas memindahkan mobil-mobil dari garasi ke tempat lain menyusurkan jari-jemari ke rambutnya. Untungnya kunci-kunci mobil tersebut tak sulit ditemukan, atau kalau tidak, mereka terpaksa harus mendereknya.
"Uang? Buat apa uang di situasi semacam ini?" Jeno mencibir, tidak mendongak dari kegiatannya menulis. Salah satu penghuni rumah itu pelajar seperti mereka, dan ia anggaplah meminjam dalam tanda kutip buku, spidol dan selotipnya. "Jaemin, uang nggak bisa di makan."
"Ironis."
"Huh?" Renjun menyahut dengan mulut penuh jeruk.
Tak ingin kehabisan, Jaemin merebut plastik buah itu lalu mengupas 1 yang ia nilai beraroma paling harum. "Sebulan yang lalu一ah, nggak, 2 minggu yang lalu, orang pasti milih uang daripada jeruk. Mereka nggak akan ninggalin rumah yang isinya banyak barang berharga tanpa pengawasan. Tapi sekarang, muncul orang-orang kayak Aru yang nggak segan ngebunuh demi makanan dan senjata."
"Keadaan berubah." Cetus Jeno dalam keseriusannya. "Orang-orang bakal ngelakuin apa aja buat bertahan hidup."
Renjun angkat bahu. Kecepatan makannya berbanding terbalik dengan kecepatannya meraut pensil. Saat Jaemin hampir melahap habis jatahnya, dia baru menelan seperempat. "Kalian tahu apa yang lebih ironis? Manusia masih aja sibuk berantem walaupun dunia udah sebegini rusak. Padahal kalau kita saling bantu, hasilnya bakal lebih maksimal."
"Pikiranmu terlalu lugu, Ren." Jeno kadang sulit percaya Renjun lebih tua darinya meski mereka hanya terpaut beberapa bulan. "Impian itu susah dibikin nyata. Mungkin manusia udah dikutuk buat nggak bisa saling percaya sampai kapan pun."
"Ironis." Jaemin dan Renjun serempak mengangguk.
"Kalian siap?" Jeno punya perasaan campur aduk mengenai ini. Di satu sisi ia senang ditemani adik dan sahabatnya. Di sisi lain, ia tak bisa berpura-pura dia tak mencemaskan nasib mereka. Ia jadi paham mengapa Grace ngotot tak mengajak Jisung saat mencari obat. Grace tidak menganggap Jisung beban, dia justru khawatir padanya. Tanggung jawab seorang kakak kerap terlalu berat untuk dipikul sendirian.
Belum selesai, Renjun masih mengunyah potongan jeruknya ketika mereka keluar. Gigi taringnya yang sedikit menonjol membuatnya tampak seperti vampir remaja yang bertranformasi sebelum mencapai usia legal. "Kamu yakin nggak mau tukar posisi? Aku nggak keberatan gantiin kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...