Katanya, orang yang bisa bangkit lagi setelah jatuh adalah orang yang kuat.
Tapi Lee Haechan tidak merasa kuat sama sekali, dan dia juga belum bangkit. Dia masih berada di ruang tamu rumahnya, duduk bersama rokok yang sudah habis setengah. Asap dari rokok itu, bunyi desisan api yang menyisakan abu di lantai berlapis karpet berbulu, adalah satu-satunya teman yang ia miliki saat memandang jasad orang tuanya yang telah pergi dari dunia ini.
Tahukah kalian jika salah 1 pucuk rokok itu manis?
Kalau kamu penasaran apakah seseorang merupakan perokok pemula atau perokok yang berpengalaman, tengok saja ujung batang yang ia hisap. Mereka yang baru coba-coba biasanya menyangka rokok itu pahit, sehingga ketika mencicipi dan merasakan sensasi yang berbeda dari perkiraan, tanpa sengaja mereka akan mengulumnya seperti permen dan membuatnya basah.
Rokok adalah kehidupan一ada pahit, ada manis. Penderitaan kadang diawali dari kebahagiaan.
Haechan memberi dirinya rokok lagi. Hirup, hembuskan. Hirup, hembuskan. Dia tak ubahnya alat pemanggang yang terus mengepulkan uap. Melalui racun nikotin itu, ia melarikan diri dari kenyataan kejam di sekelilingnya, mengisap lebih banyak rokok dari yang normalnya ia konsumsi selama sepekan.
Setelah semuanya habis, kotak rokoknya kosong, barulah dia berdiri. Secercah harapan rapuh menyala, jadi secara berurutan ia memeriksa kamar adik-adiknya. Dua-duanya sepi, berantakan sebagaimana kamar anak-anak di bawah umur 10 tahun. Tidak ada mayat, pula tidak ada darah一itu berita baiknya. Lenyapnya mereka dan para tetangga pastilah berarti sesuatu. Harus. Jika tidak, Haechan takkan punya apa-apa lagi untuk dipertahankan.
Kemudian, Haechan sadar, salah, dia sebenarnya masih memiliki 1 pegangan.
"Grace?" Haechan memanggil. Sejujurnya dia tidak ingat kapan Grace pergi, segalanya kabur saat ia berada di garis tepi antara kegilaan dan kewarasan. "Grace?"
"Di belakang!"
Haechan menemukan gadis itu berada di halaman belakang, tengah menggali lubang sedalam 3 meter memakai sekop yang entah ia dapat dari mana.
"Hai." Grace menyapa, tampak agak gugup dilatari sinar matahari siang. Dia bereaksi seperti tidak yakin apakah Haechan akan marah atau menyerangnya, seolah Haechan hewan buas, dan Haechan benci mengingat apa yang telah ia perbuat pada makhluk cantik mungil ini. "Kamu udah ... Ehm, baikan?"
"Apa yang kamu lakuin?"
"Oh, ini." Grace mengisyaratkan sebuah lubang yang sudah jadi dan lubang lain yang fokus ia kerjakan. "Buat orang tua kamu. Kita nggak bisa biarin mereka gitu aja kan? Tapi kalau kamu mau ngubur mereka di tempat lain..."
Haechan menjilat bibirnya, mengangguk perlahan-lahan. "Nggak. Aku pikir di sini cukup."
Tak ada tempat yang lebih baik untuk beristirahat dibanding rumah, benar?
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...