17. Kita Beradaptasi III

1.1K 326 50
                                    

Mereka ada 4 orang.

Mark taksir berusia pertengahan 30-an, sama-sama berwajah sangar一entah karena takdir Tuhan atau hidup yang sukar. Mereka jauh lebih butuh bercukur darinya, kumis dan janggut mereka melekat lebat di bawah hidung dan dagu. Otot-otot liat bertonjolan di lengan, tak dapat ditutupi oleh baju-baju yang mereka pakai.

Salah seoang dari mereka, yang botak, melompat dari 2 anak tangga teratas dan mendarat selamat berkat ketangkasan yang rasanya bisa menyamai Jeno. 3 sisanya, pria yang mengenakan rompi一yang pertama kali memergoki kelompok Mark一bersama rekannya, pria berjanggut dan pria yang punya bekas luka di dahinya, menuruni tangga dengan cara normal. Langkah mereka santai, tidak tergesa-gesa.

"Siapa kalian?" Si botak bertanya, meraih kedua bahu Jaemin lebih cepat dari Mark yang berniat menyambar gagang pintu. "Bocah-bocah ingusan dari mana?"

Kenyataannya, tak ada satupun dari anggota timnya yang pilek, tapi Mark tidak membantah. Dia hanya ingin pergi dari sini secepatnya. "Kita nggak tahu tempat ini ada penghuninya. Kita baru mau pergi, jangan khawatir."

"Bukan itu jawaban yang bener, Nak." Giliran pria rompi yang merapat pada Grace. Dia mengelus seikat rambutnya dan menghirup aromanya. "Yang ini oke juga. Kapan lagi kita ketemu cewek?"

Haechan langsung mengangkat pistolnya dalam posisi siaga. Geraman kasar terdengar dari dasar tenggorokannya. "Lepasin dia."

"Wow, takut! Takut!" Pria dengan bekas luka mempermainkan Haechan dengan berpura-pura bergidik ngeri. Yang lainnya tergelak. "Turunin itu, bocah."

"Karena," sambung pria berjanggut. "Bukan cuma kamu yang punya pistol." Dengan kalimat itu dia menarik Chenle dan menodongkan senapan laras pendek yang diambil dari saku ke kepalanya.

Renjun merespon dengan memamerkan senjatanya sendiri, meski ia tidak yakin harus membidik siapa dan tidak seberani Haechan menghadapi gagasan membunuh orang yang masih hidup. "Ayolah. Ini nggak harus berakhir buruk."

"Ya." Mark bernegosiasi. "Nggak ada yang harus terluka. Lepasin mereka dan kita bisa pergi baik-baik."

"Atau." Si pria botak menawarkan opsi lain. "Kalian bisa ninggalin pistol kalian di sini sebelum minggat. Anak kecil nggak boleh pegang pistol, ngerti?"

"Kecuali Nona ini. Kita pertahanin dia." Wajah Grace menegang saat orang yang menahannya membelai pipinya. "Dia bisa gabung sama kita. Kamu setuju, Manis?"

Tangan Haechan berguncang. "Lepasin dia. Ini perintah, bukan permintaan. Aku nggak akan ngulang ini tiga kali."

"Apa itu ancaman?" Pria berjanggut semakin menekankan pistolnya pada Chenle. "Kalau nggak kenapa?"

Sementara itu, si botak yang paling tenang dan jelas-jelas adalah ketuanya, tertawa seolah tempat ini panggung drama dan seluruh kejadian yang terjadi merupakan hiburan gratis untuknya.

Mark tidak suka caranya menatap. Dia curiga bagi pria itu, yang menikmati pemandangan yang tersaji di hadapannya, membunuh mereka tidak berbeda dengan membunuh ayam atau hewan lain yang layak dikonsumsi. "Takut?" Dia menangkap tatapan Mark dan menyeringai. "Kamu. Jawab pertanyaannya. Kalian dari mana?"

"Sekolah." Mark menepuk-nepuk seragamnya. "Kita ber-8 dari sekolah yang sama."

"Dan kalian ke sini mau apa?"

"Cari baju." Jeno mengambil alih. "Mungkin juga beberapa makanan. Denger, Pak, kita cuma anak sekolah biasa一"

Orang-orang itu tertawa terbahak-bahak. Sikap sopan Jeno tidak berpengaruh pada mereka. "Ngerampok, eh? Ck ck ck, bocah-bocah macam kalian udah belajar jadi penjahat? Awas dimarahin Mama dan Papa lho."

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang