Sebagai seorang seniman, Huang Renjun adalah individu yang brilian.
Dari kunjungan-kunjungannya ke Arena, Renjun cukup sering berpetualang hingga mengenal bangunan itu sebaik dia mengenal sekolah. Gambar buatannya tidak hanya indah, tapi juga mencakup detail-detail yang dilupakan si kembar, termasuk sudut-sudut gelap yang tak lolos pengamatan. Cetak biru putihnya mengagumkan.
Namun, sebagai seorang pengemudi, dia masih sosok yang rentan gugup yang sama. Renjun mengaku itu berhubungan dengan fakta bahwa dia tak mengantongi surat izin. Mark tidak percaya.
Mark-lah yang mengizinkan Renjun menyetir, karena dia menginginkannya dan agar dia punya sesuatu untuk dilakukan. Renjun gelisah一orang yang rabun parah pun bisa melihatnya. Dia terus-menerus menatap Arena, mencari sinyal yang tak tampak一belum tampak一seperti korban kapal karam mencari sekoci penyelamat. "Mereka terlalu lama."
Tingkahnya mengingatkan Mark pada ayahnya yang berulang-ulang mengecek jam tangan saat terlambat mengajar, meski krisis yang menanti Mark sedikit lebih menantang. "Rileks, baru beberapa menit."
Renjun memainkan pengaman Glock-nya. Kegelisahan mempengaruhi saraf-sarafnya dan menyebabkannya susah diam. "Aku harus bilang apa? Ini bukan perbandingan yang adil. Enam lawan 18? Nah, itu baru timpang."
"Takut?"
"Cemas." Ralatnya, agak tersinggung. Renjun memberi Mark tatapan yang akan membuat Mark retak jika saja dia patung dari kaca.
Posisinya berkebalikan sekarang; Jisung duduk tenang di kursi baris kedua, Renjun tersiksa kegusarannya. Bila situasinya berbeda, Mark dan Jisung akan dikira sedang jalan-jalan menikmati pemandangan. Hanya Mark yang tahu seberapa dahsyat badai yang berkecamuk di benaknya. "Ada Jeno di sana. Jeno bakal jaga dan ngarahin Jaemin dan Ryujin." Yang Mark khawatirkan justru Jeno tak menjaga dirinya sendiri. Jeno punya kecenderungan suka membantu orang lain dan kadang lupa dia pun butuh bantuan.
"Ya," gumam Renjun, masih bimbang.
"Jeno tipe orang yang fokus sama misinya. Aku berharap banyak sama dia ... Dan kamu. Kalian," imbuhnya, mengikutsertakan Jisung yang bungkam seribu bahasa. Jisung seakan berada di awang-awang, menyimak percakapan tanpa minat.
"Dan apa harapan itu tepatnya?"
"Supaya kalian tetap hidup."
Renjun mendongak ke atap mobil dan tertawa. "Kalau gitu itu harapanku juga, aku jelas nggak mau meninggal di umur 17 tahun."
"Yah, kamu kan harus belajar ke Hongik."
"Pasti. Aku harus dapet beasiswa atas dasar kemandirian di tengah bencana atau semacamnya."
"Barangkali sama medali keberanian."
Jisung menyelipkan tubuh di antara mereka dengan ekspresi yang kentara sekali mengatakan, tak bisakah kakak-kakak ini berhenti bercanda? dan Mark merasa kerdil dan ikut gelisah, ikut gelisah dan kerdil, seperti anak yang akan kena marah. Tapi bukannya mengomentari sikapnya, Jisung malah menunjuk ke awan. "Itu asapnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...