TUJUH JAM TANPA AIR
Pantai. Air laut terasa sejuk di kakinya, tidak dingin atau panas, temperaturnya pas. Pasirnya sehalus sutra. Angin kencang seolah hendak mengangkatnya menuju Negeri Biru yang tak terbatas, tempat langit dan laut menyatu dalam satu garis harmoni yang kabur. Jadi buanglah kompas dan ikuti arah yang hatimu sarankan一
Lee Haechan membuka matanya, mengintip apa yang terjadi selagi dia sibuk memproyeksikan pelayaran yang hanya ada dalam benak. "Kalian belum selesai?"
Grace berkonsentrasi melepas perban di kakinya, tidak mendongak. "Jangan rewel."
"Jangan kelamaan."
Gadis lain, Karina, menggerakkan butterfly knife memotong sebagian kausnya. Karena tampak paling bersih, pakaiannyalah yang terpilih sebagai perban baru Haechan. "Ini nggak akan selesai kalau kamu terus gerak-gerak."
Tapi rasanya sakit, sakit sekali, dan yang bisa Haechan lakukan saat rasa sakit itu mendekapnya adalah menggeliat tak keruan. Itu, atau menjerit seperti anak-anak, yang sudah pasti tidak masuk hitungan. Haechan menggumamkan sesuatu dengan pelan, dan kembali membayangkan kampung halamannya. Sampai dimana tadi?
"Apa kamu yakin ini nggak masalah, Karina? Kita nggak punya air."
"Perbannya makin basah, Grace. Mau nggak mau harus diganti."
Ah, ya. Arah. Itu dia. Bentangkan layar dan biarkan Dewi Angin mendorong kapalmu kemana pun yang dia suka. Jauh dari bos pemarah, tetangga menyebalkan, atau teman yang diam-diam menusukmu dari belakang. Abaikan keraguan dan teruslah menatap ke depan. Jangan biarkan urusan duniawi mengekangmu berpetualang一
Erangan rendah yang gagal dia bendung tumpah dari bibir Haechan. "Jangan terlalu erat."
"Sorry," gumam Karina. "Aku udah berusaha sehati-hati mungkin."
Haechan menyeringai lemah. "Kalian nggak bakat jadi perawat."
Sungchan, satu-satunya orang yang tidak berkontribusi merawatnya melipat lengan di depan dada. "Gimana rasanya?"
"Seharusnya ini bisa jadi surga. Kapan lagi aku dikerubuti cewek-cewek cantik?"
"Tapi?"
"Malah lebih mirip neraka."
Sungchan terbahak, sambil menggelengkan kepala. Mudah berteman dengannya. Dia tidak banyak bicara, sikapnya kerap sedatar lembaran peta, namun dia tahu kapan saatnya bercanda. Dulu, sebelum jadi penghuni gudang, dia merupakan anggota tim basket sekolah yang bertugas di posisi point guard. Dalam tim, pekerjaannya adalah mengatur irama permainan, dan diharapkan mencetak banyak assist. Idolanya Earvin "Magic" Johnson, yang bermain di Los Angeles Lakers selama 13 musim.
"Nah, selesai." Tangan putih Karina kini diselimuti lapisan tipis cairan berwarna merah yang kontras. Sisi baiknya, Haechan bisa bernapas lega karena penderitaannya berkurang. "Maaf, Haechan. Cuma ini yang bisa aku lakuin."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
Fiksi PenggemarJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...